Blogger Perempuan

Fatherless, Punya Ayah Rasa Anak Yatim

Fatherless merupakan kondisi anak yang kurang mendapatkan peran ayah dalam pengasuhan. Indonesia termasuk negara fatherless yang tinggi di dunia.

 Di komplek, ada tetangga baru yang baru pindah ke rumahnya. dulu rumah itu disewakan kepada rekan sekantor si pemilik rumah. Pemilik baru ini baru tinggal di sana beberapa bulan. Istrinya ibu rumah tangga, punya dua anak, dan kerap menghabiskan weekend di rumah orangtuanya.

Anak perempuan terkecil kerap memanggil anak saya yang masih bayi. Rumah kami berhadapan arah pukul sebelas. Rumah saya belum ada pagar, rumah mereka pagarnya belum selesai. Baru dipagar tembok rendah. Segala aktivitas bisa dilihat dari teras rumah saya.


[Photo: Pexels]

Saya kerap bertemu dengan mereka meski minim percakapan. Aktivitas saya di kampus sering menyita sosialiasi antar tetangga yang harusnya terjalin baik. Akan tetapi, tanpa saya sadari anak terbesar mereka yang duduk di bangku Sekolah Dasar memperhatikan kehidupan pribadi saya sangat lekat.

Kejadiannya terjadi di suatu sore. Saya baru kembali menjemput anak di penitipan, lalu berlanjut ke kampus untuk absen sore. Pulangnya saya langsung ke rumah. Seperti biasa, ibu si anak sedang berada di teras. Kali ini sedang memetiki sayur untuk dimasak. Anak lelaki duduk di atas tembok pagar tanpa melihat ke arah kami. Sedangkan anak perempuan kecil berdiri di depan pintu dan memanggil anak saya, “adik, adik, adik.”

Saya menjawab mewakili bayi saya, “iya.”

Anak lelaki di atas tembok nyeletuk, “kami nggak mau berteman dengan anak yang tidak ada ayahnya.”

Saya terkejut. Anak sekecil itu pintar sekali bergosip. Wajah ibunya langsung berubah. Saya pura-pura tidak mendengar kalimat anak itu yang lebih sadis, “Nyak, anak nggak ada ayahnya kalau bukan anak yatim disebut anak nggak jelas, kan?”

Saya kaget, tapi lebih memilih pura-pura tidak mendengar. Ibu si anak yang dipanggil dengan sebutan Nyanyak menjelaskan kalau anak saya punya Ayah. Si anak tidak terima karena dia tidak pernah melihat lelaki keluar dari rumah saya.

“Kalau ayahnya ada, dimana ayahnya?” debat si anak.

“Ayahnya ada di dalam, kok.”

“Kok tidak pernah keluar? Mana ada orang yang betah di dalam rumah siang malam. Pasti, dong, keluar untuk hirup udara segar.”

“Ayahnya pergi kerja.”

“Nggak pernah kelihatan tuh setiap pagi atau sore. Sandalnya juga nggak ada. Kalau nggak ada sandal lelaki artinya kan tidak ada lelaki. Cuma sandal dan sepatu perempuan saja di situ.”

Ibunya diam sesaat. Beberapa menit kemudian baru menjawab, “ayahnya pulang malam sekali waktu kita nggak keluar rumah lagi. Pagi berangkat kerja saat kita belum keluar rumah.”

Si anak berpikir agak lama. Dia masih belum bisa menerima, “memangnya ada pekerjaan begitu? Bukannya Cuma perempuan tidak jelas yang pergi pagi pulang pagi lagi, Nyak?”

Duh, saya tidak mau mendengar lagi penjelasan ibunya. Saya langsung masuk ke dalam rumah dan membereskan anak saya. Lalu keluar lagi untuk memasukkan sepeda motor ke dalam rumah.

Percakapan ibu dan anak ini terus terngiang di telinga saya. Beban menjalani long distance relationship (LDR) dalam pernikahan memang berat. Bukan saja untuk pasangan suami istri. Anak-anak juga mendapatkan beban tak kalah berat. Selama empat tahun menjalani hubungan jarak jauh dengan suami karena pekerjaan sebagai abdi negara, saya sering terpikir untuk mengundurkan diri. Mengundurkan diri demi anak, tetapi bertahan juga demi anak.


[Photo: Pexels]


Setiap kali saya siap untuk mengundurkan diri sebagai PNS dosen di salah satu kampus PTKIN, setiap kali pula saya dihadapkan dengan sebuah masalah yang hikmahnya merujuk pada ‘pentingnya seorang perempuan bekerja’. Hikmahnya selalu mengarah pada kalimat, “untunglah saya bekerja dan punya gaji sendiri. Kalau tidak, entah bagaimana nasib ini.”

Di tengah polemik anak jauh dari sosok ayah dan ibu yang bekerja, saya menemukan sebuah kata yang terdengar earcatching. Fatherless atau father absence, inilah kata baru dalam bahasa Inggris saya baca di seuah artikel.

Awalnya saya pikir fatherless ini sebutan untuk anak yatim, ternyata lebih parah dari itu, Bun. Fatherless merupakan suatu kondisi dimana tidak adanya figur ayah dalam pola asuh. Bukan karena sosok ayah dalam keluarga sudah meninggal, bukan pula karena bercerai.

Meskipun fatherless bisa disebut dengan tidak memiliki ayah, tapi kondisi yang benar-benar menggambarkan sisi negatif fatherless ini justru ke arah berbeda. Tepatnya seperti tidak memiliki hubungan dekat dengan ayah karena situasi dan kondisi tertentu. Fatherless berbeda dengan anak yatim. Mirisnya Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia yang memiliki kasus fatherless paling tinggi.

Banyak penyebab yang menjadi alasan besar fatherless di Indonesia. Salah satunya karena stigma yang dibentuk oleh masyarakat Indonesia tentang hak pola asuh. Orang Indonesia beranggapan bahwa ayah tidak pantas mengasuh anak. Padahal dampak anak yang mendapatkan kasih sayang dari ayah lebih maksimal sangat bagus, lho. Perkembangan anak akan tumbuh dengan baik baik secara fisik maupun secara psikologis.

Perkembangan anak fatherless mempengaruhi kondisi fisik anak, terutama pada anak lelaki. Ketika ayah absence dalam pengasuhan, anak lelaki biasanya lebih lemah secara fisik karena dia tidak dibiasakan dan tidak melihat contoh dari sang ayah sebagai idola. Secara psikologis, anak memiliki kekosongan emosi dan psikis yang berdampak pada perilaku di kemudian hari. Ih, ngeri, ya!

Kebanyakan stigma di masyarakat kita justru beranggapan bahwa perilaku tidak ada hubungannya dengan kehadiran ayah dalam pola asuh. Ayah justru dituntut untuk memprioritaskan kebuthan materiil masyarakat yang terus bertambah dari hari ke hari. Hal ini jauh lebih penting dari kehadiran Ayah dari hari ke hari. Padahal banyak sekali kontribusi ayah yang dibutuhkan dalam proses pola asuh dan tumbuh kembang anak-anak.

Pertama, interaksi antara anak dengan ayah lebih komunikatif dengan ragam kosa kata. Meskipun ibu terkesan lembut dan ayah terkesan keras, anak-anak akan lebih patuh dan cerdas ketika pola asuh ayah terlibat. Kedua, pola 5W+1H dalam kemampuan berkomunikasi lebih bertanggungjawab dan logis. Seperti umumnya sifat lelaki yang logis, anak akan lebih cerdas dalam berkomunikasi. Terutama dalam memberi tanggapan dalam komunikasi yang lebih kritis.

Ketiga, peran ayah dalam pola asuh anak akan berpengaruh positif terhadap keterampilan akademis anak. Meskipun gen kecerdasan anak diturunkan oleh ibu, peran ayah mampu meningkatkan dan menata bakat minat anak dalam pengembangan kepribadiannya.

Dua penyebab utama fatherless di Indonesia aalah perceraian orang tua dan pengasuhan patrilineal. Perceraian orangtua di Indonesia biasanya langsung ikut menceraikan hubungan ayah dan anak, apalagi jika pola asuh anak jatuh kepada sang ibu. Anak yang awalnya dekat dengan ayah pun bisa berjarak karena perceraian.

Pengasuhan patrilineal di Asia dan khususnya di Indonesia kerap membuat anak-anak membuat jarak dengan sosok Ayah. Sekalipun kehadiran ayah di rumah banyak, tapi interaksi ayah dan anak sering dibatasi denga berbagai hal.

Fatherless bukan tidak memiliki dampak. Dampak yang paling jelas dan berbahaya untuk masa depan anak karena fatherless setidaknya ada tiga. Pertama, rendahnya harga diri (self esteem) ketika dia dewasa. Kedua, perasaan marah atau anger yang tidak bisa dikendalikan. Ketiga, menimbulkan perasaan minder atau tidak percaya diri karena berbeda.

Nah, ada lagi dampak fatherless yang sahabat tahu? Share, ya.

Posting Komentar