Di komplek, ada tetangga baru yang baru pindah ke rumahnya. dulu rumah itu disewakan kepada rekan sekantor si pemilik rumah. Pemilik baru ini baru tinggal di sana beberapa bulan. Istrinya ibu rumah tangga, punya dua anak, dan kerap menghabiskan weekend di rumah orangtuanya.
Anak
perempuan terkecil kerap memanggil anak saya yang masih bayi. Rumah kami
berhadapan arah pukul sebelas. Rumah saya belum ada pagar, rumah mereka
pagarnya belum selesai. Baru dipagar tembok rendah. Segala aktivitas bisa
dilihat dari teras rumah saya.
[Photo: Pexels] |
Saya
kerap bertemu dengan mereka meski minim percakapan. Aktivitas saya di kampus
sering menyita sosialiasi antar tetangga yang harusnya terjalin baik. Akan
tetapi, tanpa saya sadari anak terbesar mereka yang duduk di bangku Sekolah
Dasar memperhatikan kehidupan pribadi saya sangat lekat.
Kejadiannya
terjadi di suatu sore. Saya baru kembali menjemput anak di penitipan, lalu
berlanjut ke kampus untuk absen sore. Pulangnya saya langsung ke rumah. Seperti
biasa, ibu si anak sedang berada di teras. Kali ini sedang memetiki sayur untuk
dimasak. Anak lelaki duduk di atas tembok pagar tanpa melihat ke arah kami.
Sedangkan anak perempuan kecil berdiri di depan pintu dan memanggil anak saya,
“adik, adik, adik.”
Saya
menjawab mewakili bayi saya, “iya.”
Anak
lelaki di atas tembok nyeletuk, “kami nggak mau berteman dengan anak yang tidak
ada ayahnya.”
Saya
terkejut. Anak sekecil itu pintar sekali bergosip. Wajah ibunya langsung
berubah. Saya pura-pura tidak mendengar kalimat anak itu yang lebih sadis, “Nyak,
anak nggak ada ayahnya kalau bukan anak yatim disebut anak nggak jelas, kan?”
Saya
kaget, tapi lebih memilih pura-pura tidak mendengar. Ibu si anak yang dipanggil
dengan sebutan Nyanyak menjelaskan kalau anak saya punya Ayah. Si anak tidak
terima karena dia tidak pernah melihat lelaki keluar dari rumah saya.
“Kalau
ayahnya ada, dimana ayahnya?” debat si anak.
“Ayahnya
ada di dalam, kok.”
“Kok
tidak pernah keluar? Mana ada orang yang betah di dalam rumah siang malam.
Pasti, dong, keluar untuk hirup udara segar.”
“Ayahnya
pergi kerja.”
“Nggak
pernah kelihatan tuh setiap pagi atau sore. Sandalnya juga nggak ada. Kalau
nggak ada sandal lelaki artinya kan tidak ada lelaki. Cuma sandal dan sepatu
perempuan saja di situ.”
Ibunya
diam sesaat. Beberapa menit kemudian baru menjawab, “ayahnya pulang malam
sekali waktu kita nggak keluar rumah lagi. Pagi berangkat kerja saat kita belum
keluar rumah.”
Si
anak berpikir agak lama. Dia masih belum bisa menerima, “memangnya ada
pekerjaan begitu? Bukannya Cuma perempuan tidak jelas yang pergi pagi pulang
pagi lagi, Nyak?”
Duh,
saya tidak mau mendengar lagi penjelasan ibunya. Saya langsung masuk ke dalam
rumah dan membereskan anak saya. Lalu keluar lagi untuk memasukkan sepeda motor
ke dalam rumah.
Percakapan
ibu dan anak ini terus terngiang di telinga saya. Beban menjalani long distance relationship (LDR) dalam
pernikahan memang berat. Bukan saja untuk pasangan suami istri. Anak-anak juga
mendapatkan beban tak kalah berat. Selama empat tahun menjalani hubungan jarak
jauh dengan suami karena pekerjaan sebagai abdi negara, saya sering terpikir
untuk mengundurkan diri. Mengundurkan diri demi anak, tetapi bertahan juga demi
anak.
[Photo: Pexels] |
Setiap
kali saya siap untuk mengundurkan diri sebagai PNS dosen di salah satu kampus
PTKIN, setiap kali pula saya dihadapkan dengan sebuah masalah yang hikmahnya
merujuk pada ‘pentingnya seorang perempuan bekerja’. Hikmahnya selalu mengarah
pada kalimat, “untunglah saya bekerja dan punya gaji sendiri. Kalau tidak,
entah bagaimana nasib ini.”
Di
tengah polemik anak jauh dari sosok ayah dan ibu yang bekerja, saya menemukan
sebuah kata yang terdengar earcatching.
Fatherless atau father absence, inilah kata baru dalam bahasa Inggris saya baca di
seuah artikel.
Awalnya
saya pikir fatherless ini sebutan
untuk anak yatim, ternyata lebih parah dari itu, Bun. Fatherless merupakan suatu kondisi dimana tidak adanya figur ayah
dalam pola asuh. Bukan karena sosok ayah dalam keluarga sudah meninggal, bukan
pula karena bercerai.
Meskipun
fatherless bisa disebut dengan tidak
memiliki ayah, tapi kondisi yang benar-benar menggambarkan sisi negatif fatherless ini justru ke arah berbeda.
Tepatnya seperti tidak memiliki hubungan dekat dengan ayah karena situasi dan
kondisi tertentu. Fatherless berbeda
dengan anak yatim. Mirisnya Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia yang
memiliki kasus fatherless paling
tinggi.
Banyak
penyebab yang menjadi alasan besar fatherless
di Indonesia. Salah satunya karena stigma yang dibentuk oleh masyarakat
Indonesia tentang hak pola asuh. Orang Indonesia beranggapan bahwa ayah tidak
pantas mengasuh anak. Padahal dampak anak yang mendapatkan kasih sayang dari
ayah lebih maksimal sangat bagus, lho. Perkembangan anak akan tumbuh dengan
baik baik secara fisik maupun secara psikologis.
Perkembangan
anak fatherless mempengaruhi kondisi
fisik anak, terutama pada anak lelaki. Ketika ayah absence dalam pengasuhan, anak lelaki biasanya lebih lemah secara
fisik karena dia tidak dibiasakan dan tidak melihat contoh dari sang ayah
sebagai idola. Secara psikologis, anak memiliki kekosongan emosi dan psikis
yang berdampak pada perilaku di kemudian hari. Ih, ngeri, ya!
Kebanyakan
stigma di masyarakat kita justru beranggapan bahwa perilaku tidak ada
hubungannya dengan kehadiran ayah dalam pola asuh. Ayah justru dituntut untuk
memprioritaskan kebuthan materiil masyarakat yang terus bertambah dari hari ke
hari. Hal ini jauh lebih penting dari kehadiran Ayah dari hari ke hari. Padahal
banyak sekali kontribusi ayah yang dibutuhkan dalam proses pola asuh dan tumbuh
kembang anak-anak.
Pertama,
interaksi antara anak dengan ayah lebih komunikatif dengan ragam kosa kata.
Meskipun ibu terkesan lembut dan ayah terkesan keras, anak-anak akan lebih
patuh dan cerdas ketika pola asuh ayah terlibat. Kedua, pola 5W+1H dalam
kemampuan berkomunikasi lebih bertanggungjawab dan logis. Seperti umumnya sifat
lelaki yang logis, anak akan lebih cerdas dalam berkomunikasi. Terutama dalam
memberi tanggapan dalam komunikasi yang lebih kritis.
Ketiga,
peran ayah dalam pola asuh anak akan berpengaruh positif terhadap keterampilan
akademis anak. Meskipun gen kecerdasan anak diturunkan oleh ibu, peran ayah
mampu meningkatkan dan menata bakat minat anak dalam pengembangan
kepribadiannya.
Dua
penyebab utama fatherless di
Indonesia aalah perceraian orang tua dan pengasuhan patrilineal. Perceraian
orangtua di Indonesia biasanya langsung ikut menceraikan hubungan ayah dan
anak, apalagi jika pola asuh anak jatuh kepada sang ibu. Anak yang awalnya
dekat dengan ayah pun bisa berjarak karena perceraian.
Pengasuhan
patrilineal di Asia dan khususnya di Indonesia kerap membuat anak-anak membuat
jarak dengan sosok Ayah. Sekalipun kehadiran ayah di rumah banyak, tapi
interaksi ayah dan anak sering dibatasi denga berbagai hal.
Fatherless
bukan tidak memiliki dampak. Dampak yang paling jelas dan berbahaya untuk masa
depan anak karena fatherless setidaknya
ada tiga. Pertama, rendahnya harga diri (self
esteem) ketika dia dewasa. Kedua, perasaan marah atau anger yang tidak bisa dikendalikan. Ketiga, menimbulkan perasaan
minder atau tidak percaya diri karena berbeda.
Posting Komentar