Bagi sebagian pelancong, Malaysia masuk ke dalam salah satu destinasi negara yang wajib banget untuk dikunjungi setidaknya sekali dalam hidup. Pasalnya, Malaysia ini tetanggaan dengan Indonesia dan punya sejarah panjang yang nggak biasa dengan negara kita. Ada berbagai macam alasan orang untuk memasukkan Malaysia sebagai salah satu destinasi traveling dalam hidup mereka. Pengalaman mereka juga beragam. Tak ketinggalan dengan saya, satu waktu pengalaman backpaker ke Malaysia membuat justru menjadi cerita tangis dan tawa.
Bagaimana
tidak, pernah satu rentang waktu saya mengunjungi Malaysia setahun sampai empat
kali. Bukan karena duitnya banyak, tapi karena numpang lewat alias transit.
Setiap transit saya pasti menjelajah setiap tempat di sini ala backpacker. Di
antara semua kegiatan yang menjadi biasa saja, ada satu pengalaman backpacker
ke Malaysia yang membuat saya justru menangis dan tertawa dalam sekali waktu.
Dimulai dari pinjam identitas sampai ketinggalan kamera. Hei, what? Iya,
begini cerita saya.
Kuala Lumpur dengan ikon Petronas [Photo: Pexels/Yulia] |
Jarak Aceh ke Malaysia
Sudah
bukan rahasia lagi kalau jarak Aceh ke Malaysia dekat banget. Bahkan jarak dari
Aceh ke Jakarta lebih jauh dan biaya yang dibutuhkan untuk penerbangan lebih
mahal. Bagi orang Aceh, liburan ke luar negeri menjadi alternatif untuk liburan
dibandingkan ke Pulau Jawa atau bagian Indonesia lainnya. Apalagi jika dia
termasuk dalam golongan elit alias ekonomi sulit. Jakarta, Bali, dan Indonesia
Timur itu cuma tempat yang dimunajatkan dalam doa di sepertiga malam. Berharap
ada keberuntungan yang bisa membawa ke sana.
Kalau
hanya sekedar jalan-jalan tanpa niat shopping, ke Malaysia menjadi salah
satu cara. Apalagi di Malaysia banyak juga orang Aceh yang menjadi Tenaga Kerja
Indonesia (TKI). Urusan makan dan tidur terselamatkan untuk seminggu sampai
sebulan.
Menurut
Google, jarak Kuala Lumpur ke Aceh hanya sekitar 1.497 kilometer atau sekitar 47 menit perjalanan udara. Sama seperti penerbangan dari
Banda Aceh ke Medan, kan? Karena jarak yang sangat singkat ini pula, pengalaman
backpacker ke Malaysia bisa tercipta berulang kali.
Janjian Sama Teman di Kuala Lumpur
Saya
punya banyak teman di Kuala Lumpur yang melanjutkan studi. Namanya teman, baru
teruji justru ketika kita mengajaknya melakukan traveling bareng. Justru kali
ini yang mengajak salah satu dari teman yang sama sekali nggak pernah dekat.
Sebutlah namanya Anti (masih nama sebenarnya, cuma dipenggal saja). Sejak dia
tahu saya kuliah di China dan saya tahu dia kuliah di Malaysia, hubungan kami
mendekat. Kami merasa senasib seperjuangan di ibu kota negara.
Anti
banyak bertanya soal kuliah di China, saya juga sering cari tahu kuliah di
Malaysia. Well, karena saya kuliah di Beijing dan di kampus yang khusus
mendidik profesi, urusannya jadi ribet. Apalagi waktu itu di China dilarang
mengambil kerja part time untuk mahasiswa. Berbeda dengan Anti yang
mengumpulkan pengalaman uang dengan bekerja part time sebanyak yang dia
bisa saat di sana.
Sampai
satu hari, saya mengabarkan kepulangan ke Indonesia pada Anti. Saya sampaikan
pada Anti kalau saya memutuskan pulang lebih cepat dari biasanya. Rencana mau
jalan dulu ke beberapa tempat di Malaysia untuk konten blog saya tentang traveling.
Agak sombong saya bercerita pada Anti kalau punya pengalaman nggak enak saat
pertama kali ke Beijing, tapi ingin menaklukkan kegagalan itu dengan pengalaman
baru.
Anti
lantas mengajak saya untuk mencari pengalaman backpacker ke Malaysia modal
senyum saja. Anti berkata, “ini seriusan backpackeran, ya, Fa. Kamu jangan nginap
di hotel.”
“Iya,”
kata saya dengan setengah serius. “Gampang itu. Nanti kita atur strateginya.”
Saya
yakin dan percaya diri sekali pengalaman backpaker ke Malaysia bersama Anti
akan berjalan lancar. Sebagai orang yang sudah lama di Malaysia tentu negeri
ini bukan lagi seperti tempat asing. Justru harusnya seperti kampung halaman
yang selalu dirindukan saat pulang. Biasanya sebagai pendatang kita lebih
mengenal tempat baru dengan baik dibandingkan kota asal sendiri, bukan?
Pendaratan di Kuala Lumpur
Pada akhir Desember, saya mendarat di Kuala
Lumpur dengan mulus jelang Subuh. Pesawat body merah yang saya tumpangi
lancar tanpa kendala. Seperti layaknya penerbang pro, saya langsung ke imigrasi
dan melaporkan kedatangan. Beruntung sekali untuk masuk Malaysia pemegang
paspor Indonesia free visa 30 hari. Pengalaman backpacker ke Malaysia
pun dimulai.
Pesawat body merah sebagai maskapai andalan ke Malaysia [Photo: Pexels/Fariz Prdn] |
Dari
Beijing, saya benar-benar nggak bawa koper. Hanya modal ransel dengan berat
tujuh kilo berisi sebuah satu salinan baju, kamera, dompet, charger HP, dan sedikit
oleh-oleh khas China untuk Anti. Begitu tiba di bandara, saya langsung
mengabari Anti sambil mengantri. Dia bilang akan bertemu dengan saya di mall
Suria Center satu jam dari pesan diterima. Maklumlah, setelah keluar dari
bandara saya nggak punya akses internet lagi.
Sayangnya,
saya lupa baterai ponsel sudah di bawah dua puluh persen. Tanpa beban saya
melenggang keluar bandara, membeli tiket, dan menumpang bus ke kota. Sepanjang
perjalanan melintasi perkebunan sawit dari bandara ke kota juga saya habiskan
untuk mengecek ponsel. Kalau saja ada pesan yang belum terbaca. Entah bagaimana
ceritanya, daya ponsel tersedot cepat. Sampai di Suria Center, ponsel langsung
padam. Saya nggak bisa menghubungi teman saya ini.
Backpacker India dan Colokan Buat Ngecas HP
Kami
berjanji bertemu di mall lantai dua. Katanya akan lebih mudah untuk bertemu di
sana meski ramai. Saya setuju, setidaknya beberapa kali janjian dengan orang di
tempat publik, mall menjadi alternatif karena banyak tanda yang bisa menjadi
titik temu.
Hal
pertama yang saya lakukan di sana mencari tempat ngecas hp. Karena saya lapar
belum sempat sarapan, saya masuk ke KFC dan makan di sana. Harapan saya di situ
ada tempat ngecas hp. Sialnya, justru nggak ada. Akhirnya saya jalan sedikit
demi sedikit di mall untuk mencari colokan buat hp.
Saya
menemukan colokan di sebuah pojok. Begitu daya tersambung, ponsel langsung saya
hidupkan dan mencacri nomor Anti. Saya catat di notes kecil yang selalu saya
bawa. Setelah aman, saya mencoba mengirimkan pesan kepada Anti kalau saya sudah
sampai. Belum juga pesan itu terketik dan terkirim, seorang satpam datang dan
mengusir saya. Wah, ini pengalaman backpacker ke Malaysia yang terasa nyes
karena diusir.
Tidak
ada lagi usaha saya untuk mencari colokan buat ngecas, kalau satu tempat saja
sudah dilarang tentu bagian lain juga terlarang. Saya berpindah ke sudut lain.
Sengaja saya berdiri nggak jauh-jauh dari eskalator. Biasanya orang akan
melakukan perpindahan dari tangga, kan?
Ternyata
di sini banyak sekali yang menjadikan titik temu. Salah satunya pemuda India
yang mencangklong ransel dan sedang bermain ponsel. Saya menebak dia juga
backpacker di Kuala Lumpur. Lama sekali isi logika dan hati saya berdebat
antara memberanikan diri pinjam hp atau menunggu saja.
“Excuse
me,” kata saya ragu.
“Do
you want to borrow my phone?” tanya dia langsung. To the point. Ini
pengalaman backpacker ke Malaysia yang mengejutkan. Tepat sekali dia menebak
isi kepala saya.
Saya
mengangguk dan menjelaskan akan mengabari teman yang berjanji bertemu di sini.
Dia meminjamkan ponselnya. Saya mengirimkan pesan untuk Anti posisi saya
menunggu melalui SMS. Lantas kami berkenalan. Pemuda itu bernama Arijith dari
India.
Hanya
beberapa saat berbagi cerita tentang tujuan. Seorang cewek bule datang dan
mereka pergi. Arijith pergi dengan cewek bule itu. Katanya mereka akan
backpacker ke Filipina. Teman saya juga tiba sambil cengengesan. Dia
mengabarkan saya baru mengurus cuti di tempat kerja untuk menemani saya tiga
hari di Kuala Lumpur. Kami bertemu dua jam molor dari janji.
Sebagai
bentuk terima kasih dan khawatir membuat backpacker baik dari India itu bertanya
kondisi penantian saya, kami mengabari Arijith melalui ponsel Anti. Arijith
tidak membalas, mungkin dia sudah lepas landas ke Filipina.
Backpacker Tanpa Ransel
Begitu
keluar dari dari mall, kami langsung cari spot foto untuk kenangan. Saya
memotret Anti, dan dia juga memotret saya. Beberapa kali jepretan Anti tidak
membuat saya puas, tapi nggak enak untuk diberi tahu. Akhirnya saya
menggeluarkan fotografer andalan saya kalau lagi jalan sendiri, tongsis alias
tongkat narsis. Fotografer pribadi ini justru lebih bisa saya andalkan
dibandingkan jepretan Anti.
Anti
menawarkan saya untuk menitip ransel di rumah temannya yang dekat dengan
stasiun subway. Katanya bisa diambil saat kami kembali nanti. Akhirnya saya
hhanya membawa satchel, biar terlihat keren dan instagenic kalau difoto.
Kebetulan stachel saya juga lumayan besar. Muatannya bisa menampung dompet
panjang berisi ringgit, paspor, dan beberapa identitas penting lainnya. Padahal
bahaya banget untuk bawa begianian ke tempat wisata. Terpenting, satchel saya
bisa menampung kamera, air mineral dan beberapa roti.
Saya
bilang ke Anti, “kalau begini tampilan aku jadi kelihatan seperti backpacker
tanpa ransel, say.”
“Tujuan
kita cantik kalau masuk IG, nggak usah kasih nampak ransel lah,” balas Anti
dengan logat bahaya Indonesia Acehnya yang sudah kental dialek Melayu.
Anti Menyerah
Baru
dua tempat touristy kami singgah, Anti menyerah. Dia tidak sanggup lagi
mutar-mutar menikmati perjalanan yang menurutnya terlalu melelahkan. Dia
memberi tawaran, dia akan tetap menemani saya, tapi nggak ikut masuk ke tujuan.
Saya nggak masalah karena sudah terbiasa solo traveling sendiri.
Perjalanan
ke Batu Cave paling terasa Anti menyerah. Dia langsung membuat perjanjian tidak
akan masuk ke dalam, apalagi menapaki puluhan anak tangga hingga ke atas. Dia
akan menunggu di halaman luas dengan burung merpati yang jinak-jinak tapi
pemberi harapan palsu. Seolah bisa disentuh, ternyata nggak bisa.
Batu Cave sebagai salah satu destinasi wisata di Malaysia [Photo: Niko Cezar] |
Ditemani
oleh kamera dan tongsis, saya naik sendiri ke atas. Di tengah perjalanan,
ternyata kamera saya mati. Hp apalagi. Terlanjur mendaki, saya nggak peduli dan
terus naik ke atas tanpa dokumentasi.
Saat
turun ke bawah, Anti sedang duduk manis di salah satu tembok pembatas bunga
sambil bermain ponsel. Dia senyam senyum sendiri membaca chat dengan temannya. Dia
agak kaget ketika saya muncul di depannya. Karena hari sudah sore, kami
memutuskan pulang. Di sinilah saya melihat kemampuan Anti sebagai imigran di
Malaysia. Dia begitu fasih tawar menawar dengan supir taksi etnis dari India.
Meminjam Identitas Masuk Asrama
Kami
kembali ke kampus Islamic International University of Malaysia (IIUM).
Anti berkata kalau pada saat pemeriksaan ditanyai siapa saya, dia meminta saya
untuk memakai identitas lain. Lantas Anti memberikan saya sebuah student
card milik anak Aceh yang pulang kampung karena liburan.
Saya
agak kaget, dong. Kalau tahu begini saya mendingan cari hostel di luar. Mencari
pengalaman backpacker ke Malaysia juga nggak gini-gini amat. Meminjam identitas
membuat saya jadi was-was. Anti masih dengan ragu menenangkan saya, “nggak
apa-apa hai.”
Kami
berjalan kaki ke asramanya. Dia memilih tinggal di asrama karena katanya lebih
murah. Sepanjang jalan kaki, dia menunjukkan beberapa asrama. Asrama elit,
asrama yang banyak Indonesianya, dan asrama yang pernah dia tempati pertama
kali datang ke Malaysia.
Anti
tinggal di asrama yang didominasi oleh mahasiswa Malaysia. Katanya dia lebih
damai berada di sana. Tidak banyak disoroti dan dikomentari oleh anak-anak
sebangsa yang kebanyakan kuliah dengan dana dari ortu lebih dari cukup. Di
asrama Malaysia dia juga bisa bbelajar bahasa lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak
sebangsa yang bergerombol dengan sesama.
Di
sini sekali lagi saya buktikan kalau Anti punya kemampuan bahasa Melayu yang
mumpuni. Bukan sekedar bahasa Upin Ipin, tapi juga sudah mulai menggunakan
bahasa minoritas di Malaysia. Saya kagum, tentu saja.
Staycation
di Asrama
Keesokan
paginya, saya bangun dengan semangat. Selain susah sekali memejamkan mata di
tempat baru, saya terlalu bersemangat untuk menjelajah keluar. Nyatanya Anti
mengatur jadwal kami berangkat agak siangan dengan alasan jam-jam rawan
pemeriksaan asrama. Sekali lagi saya menyesal tinggal di asrama Anti.
Menjelang
siang, Anti mulai mager. Dia lebih memilih rebahan di ranjangnya sambil
menonton YouTube dan tertawa sana sini sendirian. Dia sangat menikmati
kesendiriannya di asrama tanpa harus berangkat kerja. Saya ingin mengajak
keluar, tapi merasa nggak enak.
Kami
hanya keluar untuk makan siang, lalu mutar-mutar kampus yang dinobatkan menjadi
salah satu kampus terbaik di Malaysia itu. Pengalaman backpacker ke Malaysia
hari kedua saya gagal total. Saya hanya menikmati suasana kampus dan suasana
religius di kampus saja. Berbeda sekali dengan kampus saya di Beijing yang
lebih heterogen.
Chowkit Bikin Sakit
Hari
ketiga kami memutuskan keluar lebih awal, sebelum matahari benar-benar angkuh
menyinari alam. Ba’da Subuh kami langsung keluar dan saya mendapat momen
foto yang menakjubkan menggunakan ponsel saya. Semua foto itu dibantu oleh
fotografer profesional bernama tongsis.
Kami
membuat daftar perjalanan ke beberapa tempat. Anti menyarankan ke Chowkit
sebagai destinasi wajib orang Aceh kalau ke Malaysia. Saya sudah berencana
menuliskan pengalaman backpackeran ke Malaysia tentang kunjungan ke Chowkit.
Anti mengajak saya menikmati makanan yang bikin kangen Aceh.
Sebenarnya
saya lebih memilih menunggu beberapa jam lagi sampai pesawat mendarat, tapi
demi Anti saya menuruti saja. Apalagi pengalaman merasakan makanan Indonesia di
luar negeri. Wah, bikin dompet menjerit.
Anti
cukup tahu diri sebagai tuan rumah. Dia mentraktir saya. Lucunya saya nggak
menolak. Mungkin ada sedikit perasaan sedih di hati Anti. Biasanya saya selalu
menolak, tapi kali ini nggak menolak. Ujungnya saya sakit perut. Mencret terus
sampai kami lebih sibuk mencari toilet daripada melanjutkan perjalanan.
Anti
mencari obat diare dan saya memaksanya minum dengan berat hati. Akhirnya
perjalanan hari ketiga juga tergolong gagal. Saya melanjutkan perjalanan ke
bandara dengan pengalaman backpacker ke Malaysia yang nggak banget.
Sorry For All Memories dan Kamera
Awalnya
Anti nggak berniat saya ke bandara. Namun dia menggalah dan mengantar saya
sampai ke halte bus ke bandara. Di sini dia tampak gundah dan merasa bersalah.
Saya paham, bagaimanapun manusia berencana tapi Tuhan juga yang merencanakan.
“Sorry,
ya, Fa. Aku, nanti aja lah,” dia menunda kalimatnya. Saya mengangguk saja.
Malah saya ingin cepat terbang ke Aceh agar semua masalah beres. Saya Cuma
mengangguk dan langsung naik ke bus.
Tiba
di bandara, check in, saya menunggu di ruang tunggu. Anti mengirimkan
Whatsapp. Isinya sangat mengejutkan, “Fa, sorry banget, ya. Aku nggak sengaja hapus
foto-foto di hape. Pas tekan-tekan malah kehapus. Maklum lah, ya. Aku pake
Samsung, kamu pake hape China. Sorry for all memories, Fa. Insyaallah
ntar kita buat lagi. Jangan marah, ya.”
Kuping
terasa panas, seperti naik darah. Saya langsung mengecek ke memori. Saya
membuka galeri. Kosong. Bukan hanya foto-foto selama di Malaysia, tapi juga
foto-foto kenangan selama di Beijing. Serius! Saya cuma mau nangis, tapi nggak
bisa marah juga pada Anti. Dia nggak sengaja.
Hati
saya kebat kebit. Antara kesal dan sedih sudah menyatu. Begitu operator
memanggil penumpang untuk naik pesawat, saya langsung masuk ke pesawat tanpa pikir
panjang lagi. Berusaha melupakan dan merelakan mungkin lebih baik. Meskipun
saya merasa ada yang belum selesai.
Perasaan
itu baru terjawab begitu pesawat body merah sudah terbang di atas
permukaan laut. Saya ketinggalan kamera. Saya lupa mengambilnya di bangku ruang
tunggu bandara karena sibuk menenangkan perasaan atas pengakuan Anti. Kali ini
saya menangis. Pengalaman backpacker ke Malaysia kali ini benar-benar kacau.
Tips Menjadikan Pengalaman Backpacker ke Malaysia Tak Terlupakan
Namanya
perjalanan, tentu kita ingin membeli pengalaman bersentuhan dengan budaya baru
dan cerita baru. Sayangnya, tidak semua terwujud dengan cerita indah. Banyak
pengalaman backpacker dibagikan melalui blog atau vlog mereka tentang cerita
tidak menyenangkan.
Ada
beberapa tips yang bisa dijadikan panduan untuk menjadikan pengalaman
backpacker ke Malaysia tak terlupakan. Siapa tahu tips ini bermanfaat untuk
kalian yang ingin menjelajahi negeri jiran tersebut.
[1] Isi Ransel Sebutuhnya
Maksud
sebutuhnya dalam arti sebenarnya. Isi yang butuh saja. Misalnya obat-obatan
pribadi yang sudah pasti dibutuhkan. Saya merekomendasikan obat diare dan
paracetamol, kedua obat ini memang paling dibutuhkan. Beri juga ruang kosong
dalam ransel. Kita nggak pernah tahu apa yang akan bertambah dalam ransel. Bawa
barang seperlunya saja, termasuk pakaian. Akan lebih gampang membawa pakaian
warna gelap dan gampang mix and match.
[2] Teman Jalan
Agar
pengalaman backpackeran ke Malaysia tak terlupakan, tidak ada salahnya mencari
teman jalan yang menyenangkan. Ada teman yang asyik diajak jalan ke mall, ke
taman, ke tempat bersejarah. Setiap orang beda selera. Akan lebih asyik kalau
punya teman yang banyak untuk ditemui di Malaysia. Pastikan kalau mereka
benar-benar bisa diajak jalan, kalau tidak jalan sendiri lebih seru, kok.
Teman
jalan ini fungsinya bukan cuma buat guide saja, kok. Dia juga berfungsi
untuk tukang foto (hahaha). Kalau tidak ada teman jalan, manfaatkan tongsis
untuk merekam momen kita. Kalau sekarang sih sebutannya monopod atau trypod.
[3] Tentukan Tempat Menginap
Meskipun
punya banyak teman atau keluarga di Malaysia, perlu pertimbangan matang untuk
tempat tinggal. Pikirkan akan tinggal dimana selama backpackeran. Mau tinggal
di hostel atau di rumah kenalan. Tidak masalah. Hanya saja, pikirkan matang
sebelum mengambil keputusan. Tentukan tempat menginap yang strategis untuk
kemana-mana. Kalaupun harus menunggu teman, tidak akan molor dan kita bisa
jalan sendiri dulu.
[4] Bawa Uang Kas Secukupnya
Ingin
menikmati fasilitas kartu kredit boleh-boleh saja. Tetap bawa uang kas
secukupnya untuk transaksi yang tidak melayani debit card, QRIS, atau kartu
kredit. Kita nggak boleh percaya seratus persen pada teknologi. Meski katanya
uang kas nggak aman, punya uang kas tetap lebih aman.
[5] Pilih Makanan
Mencoba makanan baru memang sebuah sensasi yang menyenangkan. Kita juga belajar budaya dari makanannya, kan? Perlu diingat, pilih makanan yang akan masuk perut. Bagaimanapun perut butuh adaptasi ketika masuk ke lambung. Jangan sampai pengalaman backpackeran ke Malaysia dihabiskan di rumah sakit atau bolak balik ke toilet.
Tips ini bisa diterapkan kemana saja. Kita menciptakan momen traveling dengan cara kita. Kita juga mengenang sebuah tempat dengan kejadian. Apakah kamu juga punya pengalaman backpackeran ke Malaysia yang tak terlupakan, Teman Belajar? Yuk, berbagi cerita.
Posting Komentar