Bagi working mom, membagi waktu untuk keluarga dan pekerjaan memang tugas yang lumayan menantang. Apalagi jika bekerja dengan ikatan dinas. Satu sisi jiwa raga milik negara, di sisi lain jiwa raga milik keluarga. Saya angkat topi pada working mom yang bisa membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Kalian adalah mommy hebat!
Selama ini saya selalu menghindari tugas perjalanan
dinas karena anak masih berusia di bawah dua tahun. Sampai akhirnya saya
menyadai sudah delapan tahun tidak melangkahkan kaki lebih jauh dan saya
membutuhkan refresh otak. Bertemu
orang banyak dan mendapatkan inspirasi dari mereka.
Kesempatan datang tiba-tiba dan jaraknya lumayan jauh
dari Aceh. Di Indonesia tengah, tapi orang-orang lebih banyak menyebutnya Indonesia
Timur. Perjalanan kali ini ke Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Perjalanan dinas sebagai hal sulit untuk ibu yang masih memiliki balita. [Photo: Pexels] |
Mengajak Anak Diskusi
Begitu informasi itu sampai di telinga saya, tentu hal
pertama yang perlu saya lakukan adalah menyampaikan kepada suami. Meminta restunya
untuk berangkat, sekaligus menjamin keamanan dompet. Setelah suami setuju
dengan perjalanan ini, saya mulai memikirkan apa yang akan saya lakukan
selanjutnya. Berbicara dengan anak.
Ternyata bagian menyampaikan pada anak bukan hal yang
mudah. Untuk memulai saja butuh usaha maksimal dan pertimbangan. Saya pikir,
meninggalkan anak berusia tiga tahun yang berat. Siapa yang menyangka justru
anak yang usianya enam tahun lebih berat untuk diajak kompromi.
Begitu mendapatkan izin, saya terus mengajak anak
berdiskusi untuk berdiskusi tentang perjalanan dinas ini. Saya sampaikan
bagaimana pentingnya tugas negara ini harus saya jalani.
Awalnya anak memang cuek. Saya menganggap anak tidak
mengerti apa yang saya sampaikan ini. Wajar, kan? Dia masih tiga tahun. Mengajak
anak diskusi terus saya lakukan dan sampaikan. Perlahan anak mulai paham dan
memberikan respon. Dia menolak keinginan saya dengan mengatakan, “nggak mau”
atau “adek ikut, ya.”
Sebelum Tidur dan Saat Bangun Tidur
Saya pernah mendengar sebuah nasihat parenting tentang
mengafirmasi anak tentang sesuatu. Lakukan sebelum tidur dan saat bangun tidur.
Sudah saatnya saya mempraktikkan langsung teori ini. Saya pikir begitu.
Sebelum tidur, saya menyampaikan lagi soal tugas
perjalanan dinas pada anak. Kenapa saya harus berangkat dan apa dampak jika
tidak berangkat. Saya sampaikan padanya dengan siapa dia akan tinggal dan
berapa lama saya akan pergi. Saya juga berkata apa yang akan saya lakukan di
sana dan apa yang dia bisa lakukan di sini.
Anak saya masih menjawab dengan dua kata yang sama. Nggak
mau atau minta ikut. Seminggu setelah menyampaikan tugas perjalanan dinas pada
anak, saya mendapatkan respon positif pada suatu hari.
“Mi pergi tugas dinas ya, Nak,” kata saya. Dia mengangguk
dengan wajah datar dan muka bantal. Saya pikir dia pasti tidak serius. Namun setiap
anak itu memilik hati malaikat. Dia paham meski penyampaiannya mungkin terasa
berat.
“Mi berangkat lima hari. Adik tinggal sama Abi. Hari Sabtu Mi pulang adik
jemput Mi ke bandara, ya,” kata saya lagi. Dia mengangguk lagi. Saya mulai lega. Afirmasi berhasil.
Malamnya sebelum tidur saya menyampaikan tugas
perjalanan dinas lagi kepada anak. Jawabannya sama. Kali ini dia juga merespon
dengan kata, “adek tinggal sama Abi, ya. Adek jemput Mi hari Sabtu, ya.”
Alhamdulillah, perkara menyampaikan selesai. Tinggal menguatkan
hati untuk melangkah.
[Photo: Pixabay] |
Saat Anak Mulai Plin Plan
Setelah menyampaikan pada anak dan mendapatkan
anggukan, saya pikir ini selesai. Jangan terkecoh, sebenarnya inilah awal mula
kegalauan dan langkah Ibu semakin berat. Semakin dekat ke tanggal keberangkatan
maka semakin plin plan anak dalam membuat keputusan.
Izin mendapatkan izin dari anak semakin samar terbaca saat
anak mulai plin plan. Anak mulai berpikir akan kehilangan, terpisah,
ditinggalkan, tidak diajak, atau alasan lain yang menyebabkan meningkatnya separation anxiety. Sebagai ibu,
kegalauan juga akan meningkat seiring dengan anak mulai plin plan.
Saat anak mulai plin plan, keteguhan kita sebagai ibu
juga mulai teruji. Mulai muncul pertanyaan apakah benar ini tugas negara atau
sekedar ego ingin berjalan jauh dan mencari me
time? Berbagai pilihan jawaban lantas muncul di kepala sebagai gambaran yang
membuat kita semakin ragu.
Memberi afirmasi dari awal adalah solusi. Saat anak
mulai plin plan, tekankan betapa pentingnya tugas negara ini untuk
dilaksanakan. Memberitahu anak betapa pentingnya keberangkatan dalam
melaksanakan tugas juga menjadi bagian dari mengajarkan rasa tanggung jawab
sejak dini pada anak.
Memperkenalkan Prioritas
Selain tanggung jawab, menyampaikan tugas perjalanan
dinas pada anak juga bertujuan memperkenalkan prioritas pada anak. Sebagai ibu,
tentu ada hal yang berat saat disudutkan pada pilihan. Kepada anak, kita
menjelaskan bahwa dia adalah prioritas. Namun sebagai warga negara, ada
prioritas lain di samping prioritas yang utama. Tidak lebih tinggi, tapi
sejajar.
Anak akan mencerna apa yang disampaikan dengan caranya
sendiri. Sekali dua kali anak akan berkata tidak, minta ikut, atau bahkan
mengangguk sebagai persetujuan. Namun anak juga harus mengetahui bahwa dia
adalah prioritas terbesar kita. Untuk mencapai prioritas maksimal, ada usaha
yang harus dilakukan. Salah satunya dengan menunaikan kewajiban di dunia kerja
untuk memberikan yang terbaik untuk anak.
Mengajak Packing Bersama
Jelang keberangkatan, yakinkan anak bahwa dia adalah
prioritas dan akan selalu menjadi yang utama. Pekerjaan hanya sementara. Yakinkan
anak bahwa tanpa dukungannya, apa yang akan kita jalani tidak akan berjalan
dengan baik. Untuk mewujudkan kesuksesan bersama, ajak anak untuk membantu kita
packing.
Bagi anak, aktivitas packing bisa jadi hal yang baru. Akan tetapi, membantu ibunya untuk melaksanakan tugas dengan melibatkan anak akan memberikan rasa percaya dan kegembiraan. Anak yang tadinya mewek karena tidak rela atau minta ikut semakin yakin bahwa tugas perjalanan dinas adalah misi bersama antara ibu dan anak. Bukan misi ibunya saja.
[Photo: Pexels] |
Jangan Berjanji Apapun
Meskipun kita punya sesuatu untuk diberikan kepada
anak sebagai apresiasi, tapi jangan berjanji apapun pada anak. Apalagi anak
yang sudah memasuki usia sekolah. Anak akan menagih janji yang kita umbar
kepadanya.
Jangan berjanji apapun meski hanya dengan membelikan
mainan. Biarkan anak mendapatkan kejutan, bukan hasil menunggu janji. Kebahagiaan
mendapatkan kejutan akan lebih indah bagi anak dibandingkan menunggu janji.
Awalnya saya pikir akan sulit sekali mencari cara
menyampaikan tugas perjakanan dinas pada anak. Ternyata memang sulit, tapi
setelah mencoba beberapa cara di atas ternyata berhasil. Intinya, anak adalah
seseorang yang memegang janji dan sangat memahami orang tuanya. Mereka menanam
kepercayaan tinggi pada orangtuanya, terutama ibu. Jangan merusak kepercayaan
anak dengan kebohongan untuk memuluskan misi Teman Belajar. Karena kepercayaan
dari anak harganya lebih tinggi dari jenis kepercayaan apapun di dunia ini.
Posting Komentar