Apa yang paling menyebalkan dalam hidupku? Jatuh cinta. Kata orang jatuh cinta itu indah. Tapi bagi aku tidak. Jatuh cinta itu awal hidup sengsara. Dari pandanganku, cinta itu membuat aku agak gila. Bayangkan, aku tidak bisa bebas berekspresi.
Oke, cukup kali ini aku
jatuh cinta. Aku tak akan menjalin hubungan dengan siapaun. Aku benci
laki-laki. Mereka adalah makhluk tuhan yang diciptakan paling munafik. Munafik!
My love o meter [Photo: Pexels] |
*
2 bulan kemudian.
“Cin, kemana aja kamu?” Tanya Wira. Dia satu tahun lebih muda dariku. Tapi hanya tiga bulan saja ia memanggilku dengan sebutan kakak, kak Cin. Selebihnya, setelah aku putus dengan Rafi tepatnya, dia malah memanggilku dengan Chintya. Terkadang dia memanggilnya Cinta.
“”Aku? Ya, biasalah, aku sedikit sibuk akhir-akhir ini. Sebagai kabar bahagia mungkin, aku sudah
naik jabatan menjadi editor di Face.” Ceritaku pada Wira. Wira
tampak terkejut. Senyumnya melebar dan ia bertepuk tangan senang. Aku tahu, dia
juga sangat bahagia mendengar kabar bahagia ini. Selama ini kan dia yang selalu
menemaniku ke beberapa tempat untuk liputan.
Tapi siapa sangka kalau
ini hanya sementara saja. Kebahagian itu ada udang di balik bakwan. Aku memang
semakin dekat dengan Wira di hari-hari selanjutnya. Bagaimana tidak, editor
hanya bekerja seminggu dalam sebulan, waktu tiga minggu aku isi dengan
peliputan. Aku melibatkannya. Secara tak diminta pun aku akan mengisi bahan
bakar motornya, lalu mentraktir makan siang jika acara berlangsung sampai usai
siang. Terkadang juga kami akan duduk di mana untuk sekedar nge-teh.
“Cinta, kamu tahu nggak?
Aku lagi sakit nih... tolong antar aku ke dokter dong... aku butuh pemeriksaan
yang khusus nih,” pinta Wira tiba-tiba tengah malam. Aku terkejut, penyakit
apa gerangan yang menderanya.
[Photo: Pexels] |
Malam itu juga aku meminjam
mobil seorang teman dan menjemputnya ke asrama. Celetukan-celetukan sinis pun
aku hadapi dengan senyuman. Aku coba semanis mungkin. Wira malah dengan santai
duduk di sampingku tanpa dosa dan merasa bersalah atas sikap teman-temannya.
Tak ada permintaan maaf sampai kami tiba ke rumah sakit. Permintaannya luar
biasa, ke klinik dan dokter spesialis termahal. Uangku untuk membiayai biaya
pengobatannya tak cukup. Terpaksa, aku mengambilnya ke ATM dan membayar biaya
perawatan dan penebusan obat Wira. Tetap tak ada kata terimakasih.
Selanjutnya dia selalu
mengeluh padaku. Mengatakan kalau dia sedang butuh uang, sementara perkembangan
ekonomi orang tuanya di kampung sangat kritis. Adik perempuan satu-satunya baru
masuk sekolah asrama dan butuh biaya besar. Itu pula yang menyebabkan biaya
untuk dirinya dipotong enam puluh persen. Bukan hanya untuk hal-hal kecil
seperti isi bensin atau sekedar duduk di kantin dia minta di traktir. Dia juga
minta lebih. Setiap bulan ia minta subsidi sebesar dua ratus ribu dengan alasan
untuk biaya asrama.
Selama ini aku nggak
pernah tahu kalau dia berbohong. Tapi aku heran saja, mengapa setelah meminta
jatah bulanannya ia tak pernah kelihatan sekedar satu minggu. Beberapa kabar
burung menyampaikan padaku kalau Wira telah membuat satu kesalahan besar padaku.
Dimas mengatakan kalau Wira sedang mendekati seorang perempuan cantik dengan
tubuh bongsor. Teman dekat Dimas, namanya Chelsea. Gadis itulah yang saat ini
menjadi sasaran Wira. Aku? Hanya sebagai tameng saja agar ia bisa mengeruk gaji
bulananku yang tak kecil jumlahnya untuk seorang Chintya.
Terakhir aku baru tahu kalau ia menggunakan subsidi dariku bukan untuk kepentingan asramanya. Tapi untuk mentraktir dan mengajak Chelsea makan di kafe-kafe mewah. Keterlaluan!
Meski sangat sulit aku
coba menjauh dari dirinya. Aku masih punya cita-cita lebih besar.
Membahagiakan keluargaku dengan apa yang aku punya. Namun sisi lain hatiku
masih sangat menyanyanginya, terakhir perasaan ini berkembang menjadi rasa
cinta yang mulai sulit aku tinggalkan. Tepat begitu ia sudah jalan bersama
Chelsea.
Kebencianku pada mantan
pacarku belum habis, masalah bersama Wira muncul.
Sebagai pelarian aku
malah menjadi akrab dengan Dimas. Karena searah, kami jadi sering pulang
bareng. Ia malah sering datang ke kontrakanku untuk menumpang makan sepering
nasi. Tak masalah, karena aku masih menganggapnya sebagai adikku. Seperti Wira
juga. Namun ada hal yang membuat aku hati-hati. Aku tak mau terjebak oleh cinta
yang dangkal untuk ketiga kalinya. Sedini mungkin aku hindari memanjakannya dengan
materi. Aku tak mau kejadian dengan Wira terulang lagi.
Di saat bersamaan
ternyata Dimas punya misi. Ia menyebutnya misi mulia, mempertemukan dua hati
yang terluka. Katanya, Faiz sedang patah hati, sudah lama sekali ia tak pernah
jatuh cinta. Sejak kedekatanku dengan Wira, ia sudah mulai mengincarku. Benar
saja, Faiz mulai menunjukkan rasa sukanya ke aku secara terang-terangan.
Bermula dari ia sering
mengirimkan puisi untukku, menulis lagu cinta yang luar biasa indahnya, juga
mengajak aku dinner di resto mewah. Semua aku tolak dengan
halus. Ia menerima semua konsekuensi dengan lapang dada. Alasannya, ia mengerti
bagaimana perasaanku saat dikhianati oleh seorang yang telah aku anggap adik.
Kekecewaanku belum pulih
ketika Dimas mendesakku untuk bertemu Faiz. Menurutnya, ini bisa menjadi obat
luka hatiku. Faiz bukan orang sembarangan yang bisa mempermainkan hati
perempuan. Nyatanya, selama ini dia terus yang dikhianati oleh wanita.
Akhirnya aku bertemu
juga dengan Faiz. Di sebuah resto seafood di tepi laut. Begitu
aku memasuki resto, alunan musik berpadu puisi langsung dibacakan Faiz.
Bahagia, itu yang aku rasakan. Faiz telah mempersiapkan ini jauh-jauh hari
sebelum aku datang kemari. Ada secercah cahaya untukku.
“Selamat ulang tahun,
Chintya.” Sebuah kado kecil terulur untukku. Ah, dia ingat ulang tahunku.
Sementara aku melupakannya. Mengapa ia melakukan ini?
“Karena aku tak mau
melihatmu terus menangis. Aku ingin kamu bahgia, tersenyum seperti hari ini,” jawabnya.
Bukan salahku jika tak
mempedulikan perasaannya. Dia tak jujur soal perasaannya untukku. Jadi
bagaimana aku tahu kalau dia menaruh perhatian perasaan besar untukku.
[Photo: Pexels] |
Sejak kejadian itu pula
ia seperti hilang di telan bumi. Tanpa kabar dan cerita apapun. Aku tak rela
jika kebahagiaanku hilang begitu ia menghilang. Tapi aku juga tak menyukai
permainan seperti ini. Aku merasa dipermainkan oleh lelaki.
Di saat aku mulai
menyukainya, ia kembali hilang bagai di telan bumi. Hatiku hancur
berkeping-keping.
Orang pertama yang
tertuduh tentu Dimas. Namun ia tak menolak aku jadikan kambing hitam. Tapi juga
tak menolak jika aku katakan sebagai sumber masalah begitu saja. Ia pun membuat
pembelaan. Bukan untuknya. Tapi untuk Faiz.
“Kakak tidak mengerti
bagaimana Faiz. Dia sangat mencintainya kakak, tapi terlalu malu untuk
mengakuinya. Setelah ulang tahun kakak, ia malu untuk menampakkan diri, dia
takut terlihat tak romantis lagi” Ungkap Dimas. Tetap saja. Aku sudah mengubur
perasaan itu.
*
2 Tahun Kemudian
Bagaimanapun cerita
hidupku, kisah cintaku. Tetap saja aku seorang wanita sejati. Masih mempunyai
perasaan menyukai lawan jenis. Itulah aku. Bagaimanapun aku, suatu saat akan
menemukan cinta sejatiku. Itu yang aku sadari selama ini dan aku pungkiri.
Setelah dua tahun
berlalu, sejak di hatiku terkubur nama Wira dan Faiz. Kali ini aku memang harus
membuka hatiku untuk seorang pria. Aku yakin ia mampu membuatku bahagia
selamanya. Aku yakin ini membuatku lebih baik.
Akhirnya dia datang
juga. Seorang idaman, Alif. Lelaki paling hebat yang pernah aku kenal dalam
hidupku. Dia selalu ada dalam hidupku dan menemani setiap tarikan nafasku.
Dialah yang menjadi pelindungku kini.
Aku tak peduli walaupun
Faiz terluka dan membenciku. Namun aku punya hak untuk mendapatkan cinta. Aku
juga punya hak untuk menikmati indahnya cinta sejati itu. Aku menyadari, cinta
itu datang saat yang tepat. Saat aku butuh seorang pendamping hidup yang begitu
aku dambakan.
Aku
punya hak untuk bahagia.
Posting Komentar