Sebelas
tahun sudah. Tepat di pagi Minggu sebelas tahun lalu. Saya mendapatkan kabar
yang tidak pernah ingin saya dengar seumur hidup. Ayah meninggal dunia. Lebih menyakitkan
karena Ayah pergi tanpa menunggu saya pulang dari rantau.
Kalian
mungkin masih bisa tertawa dan membicarakan kejanggalan orang tua di usianya
yang makin senja. Tingkah labil dan berbagai polah orang tua di saat kalian
menerima gaji. Di penghujung tahun atau hari raya tiba. Masih bisa membeli satu
salin pakaian shalat untuk dipakai di hari raya. Saya tidak. Meskipun ingin
sekali rasanya membelikan pakaian shalat terbaik sekali saja seumur hidupnya. Itu
hanya abadi sebagai salah satu mimpi yang tidak akan pernah tercoret dari 100 hal
yang ingin saya lakukan selama hidup.
Saya
tidak menyesal, tapi tidak pula bahagia. Meskipun ratusan nasihat doa dari anak
untuk orangg tuanya lebih baik dari ribuan helai sutra. Tetap saja, teori lebih
mudah diucapkan daripada dipraktikkan.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Sebulan Sebelum Keberangkatan
Ayah
selalu mengucapkan kalimat yang membuat saya mewek tiap kali berjuang
mendapatkan beasiswa atau kursus gratis. “Ayah tidak punya harta berlimpah
untuk diwariskan, tapi ayah akan investasi ilmu berguna untuk kamu. Agar kamu
selamat dunia akhirat. Ilmu akan menjaga kamu, tapi harta tidak.”
Saya
percaya, meski kadang menangis dalam hening malam. Saya merasa kalimat Ayah
seperti kalimat terakhir yang diucapkan berulang. Bertahun-tahun mulai dari
saya masih duduk di bangku sekolah hingga saya melihat deretan bangku di
sekolah.
Sebulan
sebelum keberangkatan ke Beijing, saya ditelepon oleh staf kedutaan Republik
Rakyat Cina. Mereka mengabarkan kalau saya lulus di salah satu kampus Beijing. Saya
kabari pada Ayah sambil menangis. Ayah saya sujud syukur di kedai sempit kami.
Kebetulan
saya sedang di rumah Takengon menghabiskan Ramadan bersama keluarga. Saya
mengecek informasi tentang kampus yang akan saya tuju dengan semangat. Namun saat
tahu kalau itu bukan kampus dalam daftar sepuluh besar, saya agak mengkeret. Saya
mengirim email ke Fiona, perempuan yang menelepon saya dan mengirim email itu. Jawabannya
sungguh mengejutkan.
Ulfa,
This
is the best campus for communication and media studies in China. So many
chinese try to get there. You are so lucky for your study.
Serius.
Saya nggak ngerti. Apanya yang lucky? Apalagi di hari yang sama saya
juga mendapatkan informasi dari teman yang mengatakan kampusnya bisa jadi cuma
fiktif atau kampusnya ada, tapi belajarnya di ruko. Statusnya swasta dan tidak
terakreditasi.
Saya
mulai galau. Saat itulah Ayah dengan matanya yang berkaca-kaca berkata, “semua
orang memang memimpikan kuliah di Amerika, Eropa, Australia. Manusia memilih
yang dia inginkan, Allah memilihkan apa yang kamu butuhkan. Jika informasi yang
kamu dapatkan lebih baik daripada informasi yang kamu dengar. Pilih yang kamu dapatkan.
Apalagi kalau orang kedutaan sudah mengatakan begitu. Jangan dengarkan orang
lain. Dengarkan hatimu sendiri.”
Saya
memutuskan untuk berangkat dengan keyakinan dari hati. Saya sempat meminta
tolong pada seorang teman yang kami sapa Cek Bee. Dia kuliah di Nanchang dan bahasa
mandarinnya feichang hao (sangat bagus). Saya meminta tolong untuk
mengecek kampus tersebut.
Jawabannya
semakin memantapkan hati saya, “ini kampus bagus, Fa. Jangan sia-siakan
kesempatan.” Begitu katanya. Dia juga mengirimkan video pengenalan kampus dari
YouTube.
Informasi
ini juga saya tunjukkan pada Ayah. Ayah senang sekali. Ayah semakin banyak
memberi dukungan untuk saya.
Modal Delapan Juta
Selama
seminggu saya merincikan kebutuhan dan membuat daftar apa yang akan saya bawa
ke Beijing. Catatan itu juga dibaca oleh Ayah saya. Saya mulai gelisah karena tidak
ada modal delapan juta yang bisa dibawa ke sana.
Ayah
masih menenangkan saya, “jangan khawatir. Insyaallah modal berangkat itu pasti
ada.”
Saya
mulai menelepon teman yang pernah meminjam uang kepada saya. Ada yang berjanji akan
mentransfer segera, tapi nomornya tidak pernah bisa dihubungi lagi. Ada pula
yang tidak pernah mengangkat telepon dan tidak membalas pesan lagi. Saya merasa
seperti rentenir yang menagih utang dari para penunggak.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Di saat
saya sangat membutuhkan pula, saya merasa malu sekali menagih utang. Jadinya seperti
saya yang mencari pinjaman ke sana kemari untuk modal delapan juta. Padadal saya
hanya mengumpulkan uang saya yang dipinjam oleh orang lain.
Kalkulasi
modal sebenarnya lebih jika semua uang itu ada pada saya. Agak kesal pula saya
katakan pada ayah. Ayah menanggapi dengan, “jangan pikirkan yang tidak ada di
depan. Fokus saja persiapan berangkat.”
Tanpa
memikirkan modal delapan juta itu, saya membereskan semua dokumen keberangkatan
dadakan. Lima juta pertama langsung ludes di meja konter pembelian tiket. Miris
dan terasa sedih sekali. Ternyata modal delapan juta tidak cukup.
Permintaan Ayah
Dua
hari sebelum berangkat saya ingat Ayah pernah minta dibelikan buku Rantau Satu
Muara karangan Ahmad Fuadi. Kata Ayah, bukunya bagus. Mengingatkan Ayah pada
saya yang akan merantau jauh. Ayah tahu buku itu dari resensi di majalah remaja
yang selalu saya baca.
Ayah
berpesan, “beli yang asli, ya. Jangan bantu pembajak untuk kaya. Penulis yang
akan rugi kalau kita terus beli buku bajakan.”
Saya
merengut, “buku asli mahal, Ayah.”
Meski
begitu, saya tetap membeli buku ori dan ikut mengantri di sebuah toko buku bersama
sepupu. Saya sempat ingin menitipkan buku itu pada sepupu. Saya berniat
langsung terbang ke Beijing tanpa bertemu Ayah lagi.
Keraguan Menjelang Berangkat
Katanya
firasat, tapi saya tidak tahu apa namanya waktu itu. Setelah membeli tiket dan packing.
Keinginan saya untuk berangkat hilang sama sekali. Saya ingat ayah. Keraguan menjelang
berangkat begitu kuat.
Saat
mengingat Ayah, air mata saya keluar begitu saja. Terpikir bagaimana Ayah
antara rela dan tidak rela melepaskan saya tanpa mahram. Bagaimana air mata Ayah
menetes saat bercerita dan menasehati saya saat di negeri orang. Saya galau.
Dua
hari sebelum berangkat ke Beijing, saya putuskan pulang ke rumah di Takengon. Ayah
dan Mak terkejut melihat saya tiba saat Subuh di rumah. Ayah apalagi. Mereka pikir
saya memang tidak berniat berangkat lagi.
Seharian
saya menghabiskan waktu dengan Ayah. Berdiskusi tentang buku Rantau Satu Muara yang
belum saya baca. Sementara Ayah sudah menamatkan dua kali dalam waktu lima jam.
Pelukan dan Tangisan Tak Biasa
Sorenya
saya mengatakan pada Ayah akan kembali ke Banda Aceh malam itu juga. Saya hanya
pulang untuk mengantar buku dan pamit. Ayah menangis. Air matanya bercucuran,
ayah memeluk saya.
![]() |
[Photo: Dokumentasi Pribadi] |
Bahasa
cinta ayah dan anak di antara kami tidak pernah ada pelukan atau kata I love
you. Pelukan itu begitu canggung, tapi isak Ayah sangat membuat saya sedih. Saya
semakin tidak ingin berangkat, tapi Ayah mendesak untuk pergi.
“Jangan
tinggalkan shalat. Belajar sampai kamu bisa mandiri dengan kakimu sendiri. Melangkah
dengan tegap, jangan ragu. Selesaikan apa yang sudah kamu mulai,” pesan Ayah. “Jaga
diri di negeri orang.”
Saya
menangis. Bahkan ketika mopen L300 membawa saya ke Banda Aceh, saya menangis
sepanjang malam. Terisak sepanjang malam. Kurang dari 48 jam ke depan, saya
akan berangkat. Saya ingat, hari itu tanggal 31 Agustus 2013.
Dialog Dua Layar
Tiba
di Beijing, komunikasi kami tidak lantas lancar. Laptop saya mulai soak
baterainya. Facebook diblokir, saya belum punya android, komunikasi dengan keluarga
di rumah masih sulit. Salah satu teman dari Nepal yang saya kenal random di
supermaket mengajari saya bagaimana cara terkoneksi ke tanah air di hari
pertama berada di Beijing.
Tetap
saja. Karena ketimpangan teknologi, saya memilih jalur paling aman meski mahal.
SMS. Setiap hari saya mengirimkan SMS untuk Ayah. Ayah membalasnya singkat
dilengkapi dengan nasihat. Selama dua bulan pula kami terus berkomunikasi
dengan cara itu.
Pertengahan Desember
Saya
terhubung dengan Ayahcek di Facebook. Beliau adalah adik kandung Ayah. Ayahcek mengabari
sedang berada di rumah dan meminta saya berkomunikasi dengan Ayah melalui Facebook.
Kami berbincang lama. Bercerita tentang perjalanan saya selama di Beijing dalam
dua bulan. Pertemanan, kuliah, cuaca, dan tembok Cina.
“Nanti
Upa tunjukkan video saat di tembok Cina. Sekarang belum selesai diedit. Biar Ayah
nontonnya seperti nonton TV,” kata saya saat bercerita tentang tembok Cina. Ayah
tetap meminta saya mengirimkan foto di tembok Cina.
Saya
mengirimkan foto bersama almarhumah Nassra Nasron, gadis Tanzania yang saya temui
saat masa orientasi. Saya mengatakan kalau rindu mendengar suara Ayah. Tentu saja
kalimat itu terketik bersamaan dengan air mata yang keluar.
“Suara
Mak sama juga dengan suara Ayah. Dengarkan apa kata Mak, apa yang Mak
nasihatkan sama dengan apa yang Ayah ucapkan,” begitu Ayah mengetik di
Facebook. Kemudian percakapan terputus.
Itulah
percakapan terakhir kami. Pada pertengahan Desember yang dingin dan tubuh tak
lepas dari gelungan selimut.
Pertanyaan Aneh
Seminggu
setelah percakapan itu kami mulai disibukkan dengan ujian. Agak kaget ketika
adik perempuan dan Mak menelepon saya lumayan pagi. Mereka seperti kebanyakan
pulsa. Menelepon, tapi lebih banyak diam.
Saat
saya bertanya kabar Ayah pun Mak dengan cepat menjawab, “sehat.”
Kabar
ujian dan persiapan yang saya lakukan juga terbagi ke rumah. Respon mereka
diam. Tidak ada yang menanggapi seperti biasa. Apalagi menasehati. Saya merasa
ada yang janggal.
Lebih
janggal lagi saat mendapat pertanyaan aneh dari adik perempuan saya. “Kak,
kapan pulang?”
“Summer
tahun depan, kan? Belum ada duit beli tiket,” jawab saya jujur.
Benar
saja. Hari itu Ayah sudah dirujuk ke Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Aceh. Kondisi
tidak sadarkan diri. Tidak ada yang memberi tahu demi ketenangan saya belajar
di Beijing. Apalagi setelah mereka tahu
saya ujian.
Lulusan Terbaik dan Kabar Terburuk
Sabtu
pagi seperti biasanya tradisi di kampus Chuanmei. Mahasiswa kelas bahasa
dikumpulkan di aula. Ada acara pengumuman kelulusan persemester yang dibacakan
oleh dekannya langsung. Saya sama sekali tidak menyangka mendapat nilai
tertinggi dan menjadi lulusan terbaik untuk kelas mandarin dasar.
Saya
maju ke depan kelas, menerima piagam dengan map kulit warna merah seperti di dracin.
Senangnya jangan tanya, tapi saya tidak berniat memberi kabar ke rumah. Saya ingin
memberi kejutan pada Ayah.
Sepulang
dari perayaan kelulusan, saya membuka Facebook di asrama. Ternyata banyak
sekali pesan yang masuk dari teman di Banda Aceh. Pertanyaannya serupa, “kapan
pulang?”
Perasaan
mulai tidak enak dengan pertanyaan ini. Mereka tahu saya baru tiga bulan di
Beijing. Bagaimana mungkin bisa segera pulang? Aneh. Bahkan ada yang memaksa
pulang dengan mengusahakan tiket penerbangan.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Untuk
apa? Harga tiket di akhir tahun mencekik. Harganya sampai Rp 14 juta one way
dari Beijing ke Kuala Lumpur. Belum dari Kuala Lumpur ke Banda Aceh. Saya semakin
merasa ada sesuatu dengan cara salah satu teman ini.
saya
menegaskan kalau tidak punya uang untuk membayar uang tiket itu. Jawabannya sungguh
mengejutkan, “kembalikan saja kapan ada uang. Tidak dikembalikan juga tidak
masalah.”
Saya
semakin merasa aneh. Apalagi setelah e-ticket dikirimkan ke email saya. Keanehan
ini mengingatkan saya pada Ayah. Saya menelepon Mak, tapi Mak tidak mengangkat.
Adik saya mengatakan kalau Mak akan menelepon balik.
Isak di Ujung Telepon
Mak
memang menepati janjinya. Mak menelepon jelang tengah malam. Saya bercerita
akan pulang ke Indonesia pada tanggal 2 Januari 2014. Teman saya sudah bantu membelikan
tiket satu jam lalu. Sekalipun saya tidak menjelaskan status tiket itu.
Mak
diam saja. Saya kehabisan bahan obrolan. Biasanya Mak adalah orang talkactive
yang selalu ada saja topik obrolan. Apa saja bisa menjadi cerita panjang untuk
Mak. Deskriptif. Kali ini Mak seperti orang lelah dan tidak semangat bicara.
“Mak,
tapi Upa nggak bawa pulang apa-apa, ya. Untuk Ayah juga nggak bawa apa-apa,” ucap
saya pada Mak. Khawatir Mak mengharapkan buah tangan dari Beijing.
“Iya,
nggak usah.”
“Mak,
Upa dapat penghargaan sebagai lulusan terbaik di kelas bahasa. Itu saja hadiah
untuk Ayah, ya, Mak. Mak jangan kasih tahu Ayah dulu. Upa mau buat kejutan.” Saya
masih berkata riang.
Mak
diam saja. Telinga saya menangkap seperti ada isak di ujung telepon. Tertahan.
“Sudah
dulu, ya. Sudah malam,” kata Mak. Tidak biasanya Mak mengakhiri telepon sepihak.
Bahkan sebelum saya berkata iya, Mak sudah memutuskan telepon. Namun saya masih
mendengar ada isak tertahan sebelum sambungan terputus.
Malam
itu saya tidak bisa tidur. Antara senang mau pulang ke Indonesia dan gelisah
karena sesuatu yang tidak saya pahami. Ntah
pukul berapa saya tertidur, tapi saya tahu tertidur sudah larut sekali. Malam itu
dingin. Prakiraan cuaca mengatakan besok turun salju.
Salju Pertama
“Kenapa
semua orang suka salju? Padahal kan salju dingin. Cuma es saja.”
“Salju
itu bentuknya unik, estetikanya tinggi. Manusia saja tidak bisa berpikir akan
menciptakan benda kecil dengan ukiran indah seperti itu. Tanpa sadar, saat
salju turun kita mengakui keagungan Allah.”
“Kita
nggak bisa lihat indahnya bentuk salju, kan, Ayah?”
“Nanti
Upa akan melihat sendiri bagaimana maha karya terindah ternyata bukan buatan
manusia.”
“Ah,
Upa nggak suka.”
“Kalau
sudah melihat langsung, pasti suka. Ceritakan pada Ayah bagaimana indahnya
salju di mata kamu saat kamu melihatnya.”
![]() |
[Photo: Pexels] |
Aku
tersentak dari tidur. Gelisah. Mimpi itu seperti begitu nyata. Itu perbincangan
antara aku dan Ayah saat kami membaca majalah edisi Desember. Ada wisata salju
di Harbin dan festival es yang unik.
Tahun
ini aku dan Eveline berencana ke Harbin untuk melihat istana es. Namun aku
memutuskan tidak pergi karena alasan dana.
Aku
menggelung diri kembali dalam selimut. Telepon berdering, kulihat nama adikku
muncul di layar. Kuangkat dengan ceria.
“Hai,
pagi sekali telepon? Kamis aku balik ke Indonesia,” sapaku riang.
Adikku
diam agak lama. Seperti bukan kabar baik yang dia terima. Agak berat sebuah
pertanyaan meluncur, “ngapain, Kak?”
“Masih
tidur. Di sini baru terang. Mendung juga. Sepertinya mau turun salju.”
“Kak,
kita nggak punya Ayah lagi.”
Tangisku
pecah. Seperti langit yang runtuh tepat di kepalaku.
“Jangan
bercanda,” kataku dalam isak.
“Iya,
barusan meninggal. Di Rumah Sakit Banda Aceh. Sebentar lagi akan dibawa pulang
ke Takengon.”
“Mak
mana? Ayah sakit apa?”
“Mak
sedang mengurus administrasi. Pembuluh darah di otak Ayah pecah. Ayah kena
stroke lagi, Kak.”
Hening.
Aku terisak. Kudengar isak tertahan di seberang.
“Sudah,
ya.” Telepon terputus.
Aku
menatap keluar jendela dengan dada sesak dan sakit. Salju pertama turun. Bentuknya
menggumpal seperti kapas. Ayah benar, tiada ciptaan seindah seni Allah. Tiada yang
bisa selain Allah, tapi kenapa sekarang Ya Allah? Kenapa tidak menunggu saya
tiba.
Tangis
saya pecah tanpa peduli. Saya nggak bisa berbuat apapun selain menangis. Ikhlas?
Berat.
Sebelas Tahun Tanpa Motivator
Saya
tiba di rumah pada tanggal 4 Januari 2014. Hari kelima kepergian Ayah. Para
senior di KSR PMI mengantar sampai ke rumah. Sebelum sampai di rumah tangis
saya pecah. Teman-teman memegangi saya yang rasanya tak bertulang. Saat memasuki
rumah yang penuh dengan tikar digelar dan lengang, saya seperti ikut mati.
Saya
menangis cukup lama di pangkuan Mak. Disaksikan oleh para teman dari KSR PMI
yang mengantarkan ke rumah. Mereka juga menangis. Isak tangis mereka tertangkap
indera pendengaran saya.
Kami
bertakziah ke kuburan menjelang Zuhur. Berdoa di sana. Saya sedih, menangis
lagi, tapi rasanya lebih lega. Sepulang dari kuburan saya sudah bisa tertawa
meski masih sering menangis. Apalagi setelah teman-teman pamit pulang ke Banda
Aceh.
Selama
bertahun-tahun saya melewati masa sulit untuk memulai menulis tentang Ayah. Padahal
kami punya niat yang sama. Menulis kumpulan cerpen bersama. Ayah mempercayai
saya sebagai editor buku itu. Sebelas tahun berlalu, buku itu tak kunjung jadi.
Selama sebelas tahun tanpa motivator, saya
seperti bergerak di jalan setapak tanpa lampu. Biasanya akan ada kalimat bijak
yang dikutip ntah dari mana muncul di tiap perbincangan. Selama sebelas tahun
pula, saya tidak pernah kuat menulis apapun tentang Ayah. Air mata membuat tulisan
di layar lebih buram dan jemari membeku di atas keyboard.
Sama
seperti tulisan ini yang tidak berenergi. Mengingat kepergiannya yang tanpa
aba-aba menyedot energi saya sampai kosong. Sudah sebelas tahun, tetapi menulis
tentangnya adalah sesuatu yang belum sanggup saya lakukan.
Saat
menulis tulisan ini, saya sedang berada di Takengon. Berharap menjenguknya di
vila dengan pemandangan komersil yang kini tak bisa dinikmati dengan gratis. Rumah
impian yang ingin Ayah bangun untuk menghabiskan hari tua sambil mendekatkan
diri kepada Sang Khaliq.
Ya,
kini memang Ayah berada dalam vila di atas bukit dengan pemandangan alam Takengon.
Ayah sudah menghadap Sang Khaliq.
::(( jadi keinget kalo sedih2 begini soal kehilangan. Beberapa waktu lalu jg lagi mengalami hal berat karena kehilangan orang yang disayang, kayak ngga mungkin gitu rasanya, tp ya harus dihadapi kan ya
BalasHapusHal yang paling nggak bisa ditoleransi ya kehilangan karena kematian. Sesiap apapun, tetap nggak siap.
HapusYa ampun kak aku turut merasakan karena mengalami hal yang sama. 12 tahun yang lalu Ayahku juga sudah tiada. Insya Allah kak, Ayah kak Ulfa pasti bangga dengan penghargaan yang kak Ulfa dapat. Kenangan indah bersama Ayah memang tak akan bisa terlupakan. Alfatihah buat Ayah kak Ulfa.
BalasHapusTerima kasih, Kak. Aku kok jadi mewek baca komentar ini.
HapusNggak berasa baca ini jadi ikut meneteskan air mata Kak. Insya Allah husnul khatimah untuk Ayahanda Kak Ulfa ya. Masya Allah, ayah meski tanpa kata tapi usahanya untuk anak-anak luar biasa ya
BalasHapusTerima kasih, Mbak. Alhamdulillah. Sedih banget, tapi begitulah hidup. Ada yang bertambah dan ada yang dikurangi.
HapusJadi ingat almarhum ayah saya yang meninggal belum lama ini. Sedih luar biasa memang ditinggalkan salah satu orang yang terdekat dalam kehidupan kita, tapi memang begitulah jalannya hidup, pasti ada saat-saat ditinggalkan atau meninggalkan.
BalasHapusSemoga mereka yang telah meninggalkan kita duluan diberi tempat terbaik oleh Allah Swt, min rayaadil jannah. Aamiin
Amin ya, Rabb. Semoga kita yang ditinggalkan selalu mengirimkan doa terbaik untuk mereka.
HapusKehilangan ayah memang menyedihkan apalagi kenangannya sangat memorable banget. Saya pun menulis kisah tentang ayah, meski sudah satu dasawarsa lebih beliau pergi kenangannya masih lengkap utuh di memori kepala saya.
BalasHapusMelekat dan tak tergantikan ya, Mbak.
HapusCuaca di bandung lagi mendung karena semalam diguyur hujan dan aku membaca kisah kakak seketika langsung melow. Walau sudah lewat 11 tahun tapi raganya pasti masih terasa sekali, apalagi kalau ada momen tak sengaja yang mengingatkan ke almarhum Al-Fatihah untuk bapak kak Ulfa ya 🙏
BalasHapusTerima kasih, Kak Mia. Semoga kenangan dengan Ayah tetap abadi di hati dan ingatan.
HapusAlFAtihah untuk ayahnya ya mbak. Membaca ini auto teringat bapak almarhum, langsung ikutan mewek, kepergian yang tiba-tiba. Beliau sudah tenang disana, tapi saya rindu, AlFatihah
BalasHapusKita memang tidak bisa benar-benar melepaskan ya, Mbak. Kehilangan itu berat, ikhlas yang kita jadikan sebagai tali melepaskan ternyata tali rindu yangg terus kita ulurkan.
Hapusmengalami yang embak rasakan juga. Almarhum ayah sudah dikuburkan tapi sayanya belum ada di situ karena perjalanan jauh. Dan dalam waktu yang singkat kami sekeluarga waktu itu juga kaget, tidak menyangka. Karena takdir ya sudah kami ikhlas
BalasHapusBenar, MBak. Alfatihah untuk Ayah kita.
Hapus