Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Sebelas Tahun Tanpa Investor Mimpi

Minggu, 29 Desember 2013 sampai Minggu, 29 Desember 2024. Ternyata sudah sebelas tahun, tapi beratnya melepaskan masih terasa.

 

Sebelas tahun sudah. Tepat di pagi Minggu sebelas tahun lalu. Saya mendapatkan kabar yang tidak pernah ingin saya dengar seumur hidup. Ayah meninggal dunia. Lebih menyakitkan karena Ayah pergi tanpa menunggu saya pulang dari rantau.

Kalian mungkin masih bisa tertawa dan membicarakan kejanggalan orang tua di usianya yang makin senja. Tingkah labil dan berbagai polah orang tua di saat kalian menerima gaji. Di penghujung tahun atau hari raya tiba. Masih bisa membeli satu salin pakaian shalat untuk dipakai di hari raya. Saya tidak. Meskipun ingin sekali rasanya membelikan pakaian shalat terbaik sekali saja seumur hidupnya. Itu hanya abadi sebagai salah satu mimpi yang tidak akan pernah tercoret dari 100 hal yang ingin saya lakukan selama hidup.

Saya tidak menyesal, tapi tidak pula bahagia. Meskipun ratusan nasihat doa dari anak untuk orangg tuanya lebih baik dari ribuan helai sutra. Tetap saja, teori lebih mudah diucapkan daripada dipraktikkan.


[Photo: Pexels]

Sebulan Sebelum Keberangkatan

Ayah selalu mengucapkan kalimat yang membuat saya mewek tiap kali berjuang mendapatkan beasiswa atau kursus gratis. “Ayah tidak punya harta berlimpah untuk diwariskan, tapi ayah akan investasi ilmu berguna untuk kamu. Agar kamu selamat dunia akhirat. Ilmu akan menjaga kamu, tapi harta tidak.”

Saya percaya, meski kadang menangis dalam hening malam. Saya merasa kalimat Ayah seperti kalimat terakhir yang diucapkan berulang. Bertahun-tahun mulai dari saya masih duduk di bangku sekolah hingga saya melihat deretan bangku di sekolah.

Sebulan sebelum keberangkatan ke Beijing, saya ditelepon oleh staf kedutaan Republik Rakyat Cina. Mereka mengabarkan kalau saya lulus di salah satu kampus Beijing. Saya kabari pada Ayah sambil menangis. Ayah saya sujud syukur di kedai sempit kami.

Kebetulan saya sedang di rumah Takengon menghabiskan Ramadan bersama keluarga. Saya mengecek informasi tentang kampus yang akan saya tuju dengan semangat. Namun saat tahu kalau itu bukan kampus dalam daftar sepuluh besar, saya agak mengkeret. Saya mengirim email ke Fiona, perempuan yang menelepon saya dan mengirim email itu. Jawabannya sungguh mengejutkan.

Ulfa,

This is the best campus for communication and media studies in China. So many chinese try to get there. You are so lucky for your study.

Serius. Saya nggak ngerti. Apanya yang lucky? Apalagi di hari yang sama saya juga mendapatkan informasi dari teman yang mengatakan kampusnya bisa jadi cuma fiktif atau kampusnya ada, tapi belajarnya di ruko. Statusnya swasta dan tidak terakreditasi.

Saya mulai galau. Saat itulah Ayah dengan matanya yang berkaca-kaca berkata, “semua orang memang memimpikan kuliah di Amerika, Eropa, Australia. Manusia memilih yang dia inginkan, Allah memilihkan apa yang kamu butuhkan. Jika informasi yang kamu dapatkan lebih baik daripada informasi yang kamu dengar. Pilih yang kamu dapatkan. Apalagi kalau orang kedutaan sudah mengatakan begitu. Jangan dengarkan orang lain. Dengarkan hatimu sendiri.”

Saya memutuskan untuk berangkat dengan keyakinan dari hati. Saya sempat meminta tolong pada seorang teman yang kami sapa Cek Bee. Dia kuliah di Nanchang dan bahasa mandarinnya feichang hao (sangat bagus). Saya meminta tolong untuk mengecek kampus tersebut.

Jawabannya semakin memantapkan hati saya, “ini kampus bagus, Fa. Jangan sia-siakan kesempatan.” Begitu katanya. Dia juga mengirimkan video pengenalan kampus dari YouTube.

Informasi ini juga saya tunjukkan pada Ayah. Ayah senang sekali. Ayah semakin banyak memberi dukungan untuk saya.

Modal Delapan Juta

Selama seminggu saya merincikan kebutuhan dan membuat daftar apa yang akan saya bawa ke Beijing. Catatan itu juga dibaca oleh Ayah saya. Saya mulai gelisah karena tidak ada modal delapan juta yang bisa dibawa ke sana.

Ayah masih menenangkan saya, “jangan khawatir. Insyaallah modal berangkat itu pasti ada.”

Saya mulai menelepon teman yang pernah meminjam uang kepada saya. Ada yang berjanji akan mentransfer segera, tapi nomornya tidak pernah bisa dihubungi lagi. Ada pula yang tidak pernah mengangkat telepon dan tidak membalas pesan lagi. Saya merasa seperti rentenir yang menagih utang dari para penunggak.


[Photo: Pexels]

Di saat saya sangat membutuhkan pula, saya merasa malu sekali menagih utang. Jadinya seperti saya yang mencari pinjaman ke sana kemari untuk modal delapan juta. Padadal saya hanya mengumpulkan uang saya yang dipinjam oleh orang lain.

Kalkulasi modal sebenarnya lebih jika semua uang itu ada pada saya. Agak kesal pula saya katakan pada ayah. Ayah menanggapi dengan, “jangan pikirkan yang tidak ada di depan. Fokus saja persiapan berangkat.”

Tanpa memikirkan modal delapan juta itu, saya membereskan semua dokumen keberangkatan dadakan. Lima juta pertama langsung ludes di meja konter pembelian tiket. Miris dan terasa sedih sekali. Ternyata modal delapan juta tidak cukup.

Permintaan Ayah

Dua hari sebelum berangkat saya ingat Ayah pernah minta dibelikan buku Rantau Satu Muara karangan Ahmad Fuadi. Kata Ayah, bukunya bagus. Mengingatkan Ayah pada saya yang akan merantau jauh. Ayah tahu buku itu dari resensi di majalah remaja yang selalu saya baca.

Ayah berpesan, “beli yang asli, ya. Jangan bantu pembajak untuk kaya. Penulis yang akan rugi kalau kita terus beli buku bajakan.”

Saya merengut, “buku asli mahal, Ayah.”

Meski begitu, saya tetap membeli buku ori dan ikut mengantri di sebuah toko buku bersama sepupu. Saya sempat ingin menitipkan buku itu pada sepupu. Saya berniat langsung terbang ke Beijing tanpa bertemu Ayah lagi.

Keraguan Menjelang Berangkat

Katanya firasat, tapi saya tidak tahu apa namanya waktu itu. Setelah membeli tiket dan packing. Keinginan saya untuk berangkat hilang sama sekali. Saya ingat ayah. Keraguan menjelang berangkat begitu kuat.

Saat mengingat Ayah, air mata saya keluar begitu saja. Terpikir bagaimana Ayah antara rela dan tidak rela melepaskan saya tanpa mahram. Bagaimana air mata Ayah menetes saat bercerita dan menasehati saya saat di negeri orang. Saya galau.

Dua hari sebelum berangkat ke Beijing, saya putuskan pulang ke rumah di Takengon. Ayah dan Mak terkejut melihat saya tiba saat Subuh di rumah. Ayah apalagi. Mereka pikir saya memang tidak berniat berangkat lagi.

Seharian saya menghabiskan waktu dengan Ayah. Berdiskusi tentang buku Rantau Satu Muara yang belum saya baca. Sementara Ayah sudah menamatkan dua kali dalam waktu lima jam.

Pelukan dan Tangisan Tak Biasa

Sorenya saya mengatakan pada Ayah akan kembali ke Banda Aceh malam itu juga. Saya hanya pulang untuk mengantar buku dan pamit. Ayah menangis. Air matanya bercucuran, ayah memeluk saya.


[Photo: Dokumentasi Pribadi]

Bahasa cinta ayah dan anak di antara kami tidak pernah ada pelukan atau kata I love you. Pelukan itu begitu canggung, tapi isak Ayah sangat membuat saya sedih. Saya semakin tidak ingin berangkat, tapi Ayah mendesak untuk pergi.

“Jangan tinggalkan shalat. Belajar sampai kamu bisa mandiri dengan kakimu sendiri. Melangkah dengan tegap, jangan ragu. Selesaikan apa yang sudah kamu mulai,” pesan Ayah. “Jaga diri di negeri orang.”

Saya menangis. Bahkan ketika mopen L300 membawa saya ke Banda Aceh, saya menangis sepanjang malam. Terisak sepanjang malam. Kurang dari 48 jam ke depan, saya akan berangkat. Saya ingat, hari itu tanggal 31 Agustus 2013.

Dialog Dua Layar

Tiba di Beijing, komunikasi kami tidak lantas lancar. Laptop saya mulai soak baterainya. Facebook diblokir, saya belum punya android, komunikasi dengan keluarga di rumah masih sulit. Salah satu teman dari Nepal yang saya kenal random di supermaket mengajari saya bagaimana cara terkoneksi ke tanah air di hari pertama berada di Beijing.

Tetap saja. Karena ketimpangan teknologi, saya memilih jalur paling aman meski mahal. SMS. Setiap hari saya mengirimkan SMS untuk Ayah. Ayah membalasnya singkat dilengkapi dengan nasihat. Selama dua bulan pula kami terus berkomunikasi dengan cara itu.

Pertengahan Desember

Saya terhubung dengan Ayahcek di Facebook. Beliau adalah adik kandung Ayah. Ayahcek mengabari sedang berada di rumah dan meminta saya berkomunikasi dengan Ayah melalui Facebook. Kami berbincang lama. Bercerita tentang perjalanan saya selama di Beijing dalam dua bulan. Pertemanan, kuliah, cuaca, dan tembok Cina.

“Nanti Upa tunjukkan video saat di tembok Cina. Sekarang belum selesai diedit. Biar Ayah nontonnya seperti nonton TV,” kata saya saat bercerita tentang tembok Cina. Ayah tetap meminta saya mengirimkan foto di tembok Cina.

Saya mengirimkan foto bersama almarhumah Nassra Nasron, gadis Tanzania yang saya temui saat masa orientasi. Saya mengatakan kalau rindu mendengar suara Ayah. Tentu saja kalimat itu terketik bersamaan dengan air mata yang keluar.

“Suara Mak sama juga dengan suara Ayah. Dengarkan apa kata Mak, apa yang Mak nasihatkan sama dengan apa yang Ayah ucapkan,” begitu Ayah mengetik di Facebook. Kemudian percakapan terputus.

Itulah percakapan terakhir kami. Pada pertengahan Desember yang dingin dan tubuh tak lepas dari gelungan selimut.

Pertanyaan Aneh

Seminggu setelah percakapan itu kami mulai disibukkan dengan ujian. Agak kaget ketika adik perempuan dan Mak menelepon saya lumayan pagi. Mereka seperti kebanyakan pulsa. Menelepon, tapi lebih banyak diam.

Saat saya bertanya kabar Ayah pun Mak dengan cepat menjawab, “sehat.”

Kabar ujian dan persiapan yang saya lakukan juga terbagi ke rumah. Respon mereka diam. Tidak ada yang menanggapi seperti biasa. Apalagi menasehati. Saya merasa ada yang janggal.

Lebih janggal lagi saat mendapat pertanyaan aneh dari adik perempuan saya. “Kak, kapan pulang?”

“Summer tahun depan, kan? Belum ada duit beli tiket,” jawab saya jujur.

Benar saja. Hari itu Ayah sudah dirujuk ke Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Aceh. Kondisi tidak sadarkan diri. Tidak ada yang memberi tahu demi ketenangan saya belajar di Beijing.  Apalagi setelah mereka tahu saya ujian.

Lulusan Terbaik dan Kabar Terburuk

Sabtu pagi seperti biasanya tradisi di kampus Chuanmei. Mahasiswa kelas bahasa dikumpulkan di aula. Ada acara pengumuman kelulusan persemester yang dibacakan oleh dekannya langsung. Saya sama sekali tidak menyangka mendapat nilai tertinggi dan menjadi lulusan terbaik untuk kelas mandarin dasar.

Saya maju ke depan kelas, menerima piagam dengan map kulit warna merah seperti di dracin. Senangnya jangan tanya, tapi saya tidak berniat memberi kabar ke rumah. Saya ingin memberi kejutan pada Ayah.

Sepulang dari perayaan kelulusan, saya membuka Facebook di asrama. Ternyata banyak sekali pesan yang masuk dari teman di Banda Aceh. Pertanyaannya serupa, “kapan pulang?”

Perasaan mulai tidak enak dengan pertanyaan ini. Mereka tahu saya baru tiga bulan di Beijing. Bagaimana mungkin bisa segera pulang? Aneh. Bahkan ada yang memaksa pulang dengan mengusahakan tiket penerbangan.


[Photo: Pexels]


Untuk apa? Harga tiket di akhir tahun mencekik. Harganya sampai Rp 14 juta one way dari Beijing ke Kuala Lumpur. Belum dari Kuala Lumpur ke Banda Aceh. Saya semakin merasa ada sesuatu dengan cara salah satu teman ini.

saya menegaskan kalau tidak punya uang untuk membayar uang tiket itu. Jawabannya sungguh mengejutkan, “kembalikan saja kapan ada uang. Tidak dikembalikan juga tidak masalah.”

Saya semakin merasa aneh. Apalagi setelah e-ticket dikirimkan ke email saya. Keanehan ini mengingatkan saya pada Ayah. Saya menelepon Mak, tapi Mak tidak mengangkat. Adik saya mengatakan kalau Mak akan menelepon balik.

Isak di Ujung Telepon

Mak memang menepati janjinya. Mak menelepon jelang tengah malam. Saya bercerita akan pulang ke Indonesia pada tanggal 2 Januari 2014. Teman saya sudah bantu membelikan tiket satu jam lalu. Sekalipun saya tidak menjelaskan status tiket itu.

Mak diam saja. Saya kehabisan bahan obrolan. Biasanya Mak adalah orang talkactive yang selalu ada saja topik obrolan. Apa saja bisa menjadi cerita panjang untuk Mak. Deskriptif. Kali ini Mak seperti orang lelah dan tidak semangat bicara.

“Mak, tapi Upa nggak bawa pulang apa-apa, ya. Untuk Ayah juga nggak bawa apa-apa,” ucap saya pada Mak. Khawatir Mak mengharapkan buah tangan dari Beijing.

“Iya, nggak usah.”

“Mak, Upa dapat penghargaan sebagai lulusan terbaik di kelas bahasa. Itu saja hadiah untuk Ayah, ya, Mak. Mak jangan kasih tahu Ayah dulu. Upa mau buat kejutan.” Saya masih berkata riang.

Mak diam saja. Telinga saya menangkap seperti ada isak di ujung telepon. Tertahan.

“Sudah dulu, ya. Sudah malam,” kata Mak. Tidak biasanya Mak mengakhiri telepon sepihak. Bahkan sebelum saya berkata iya, Mak sudah memutuskan telepon. Namun saya masih mendengar ada isak tertahan sebelum sambungan terputus.

Malam itu saya tidak bisa tidur. Antara senang mau pulang ke Indonesia dan gelisah karena sesuatu yang tidak saya pahami. Ntah pukul berapa saya tertidur, tapi saya tahu tertidur sudah larut sekali. Malam itu dingin. Prakiraan cuaca mengatakan besok turun salju.

Salju Pertama

“Kenapa semua orang suka salju? Padahal kan salju dingin. Cuma es saja.”

“Salju itu bentuknya unik, estetikanya tinggi. Manusia saja tidak bisa berpikir akan menciptakan benda kecil dengan ukiran indah seperti itu. Tanpa sadar, saat salju turun kita mengakui keagungan Allah.”

“Kita nggak bisa lihat indahnya bentuk salju, kan, Ayah?”

“Nanti Upa akan melihat sendiri bagaimana maha karya terindah ternyata bukan buatan manusia.”

“Ah, Upa nggak suka.”

“Kalau sudah melihat langsung, pasti suka. Ceritakan pada Ayah bagaimana indahnya salju di mata kamu saat kamu melihatnya.”


[Photo: Pexels]

Aku tersentak dari tidur. Gelisah. Mimpi itu seperti begitu nyata. Itu perbincangan antara aku dan Ayah saat kami membaca majalah edisi Desember. Ada wisata salju di Harbin dan festival es yang unik.

Tahun ini aku dan Eveline berencana ke Harbin untuk melihat istana es. Namun aku memutuskan tidak pergi karena alasan dana.

Aku menggelung diri kembali dalam selimut. Telepon berdering, kulihat nama adikku muncul di layar. Kuangkat dengan ceria.

“Hai, pagi sekali telepon? Kamis aku balik ke Indonesia,” sapaku riang.

Adikku diam agak lama. Seperti bukan kabar baik yang dia terima. Agak berat sebuah pertanyaan meluncur, “ngapain, Kak?”

“Masih tidur. Di sini baru terang. Mendung juga. Sepertinya mau turun salju.”

“Kak, kita nggak punya Ayah lagi.”

Tangisku pecah. Seperti langit yang runtuh tepat di kepalaku.

“Jangan bercanda,” kataku dalam isak.

“Iya, barusan meninggal. Di Rumah Sakit Banda Aceh. Sebentar lagi akan dibawa pulang ke Takengon.”

“Mak mana? Ayah sakit apa?”

“Mak sedang mengurus administrasi. Pembuluh darah di otak Ayah pecah. Ayah kena stroke lagi, Kak.”

Hening. Aku terisak. Kudengar isak tertahan di seberang.

“Sudah, ya.” Telepon terputus.

Aku menatap keluar jendela dengan dada sesak dan sakit. Salju pertama turun. Bentuknya menggumpal seperti kapas. Ayah benar, tiada ciptaan seindah seni Allah. Tiada yang bisa selain Allah, tapi kenapa sekarang Ya Allah? Kenapa tidak menunggu saya tiba.

Tangis saya pecah tanpa peduli. Saya nggak bisa berbuat apapun selain menangis. Ikhlas? Berat.

Sebelas Tahun Tanpa Motivator

Saya tiba di rumah pada tanggal 4 Januari 2014. Hari kelima kepergian Ayah. Para senior di KSR PMI mengantar sampai ke rumah. Sebelum sampai di rumah tangis saya pecah. Teman-teman memegangi saya yang rasanya tak bertulang. Saat memasuki rumah yang penuh dengan tikar digelar dan lengang, saya seperti ikut mati.

Saya menangis cukup lama di pangkuan Mak. Disaksikan oleh para teman dari KSR PMI yang mengantarkan ke rumah. Mereka juga menangis. Isak tangis mereka tertangkap indera pendengaran saya.

Kami bertakziah ke kuburan menjelang Zuhur. Berdoa di sana. Saya sedih, menangis lagi, tapi rasanya lebih lega. Sepulang dari kuburan saya sudah bisa tertawa meski masih sering menangis. Apalagi setelah teman-teman pamit pulang ke Banda Aceh.

Selama bertahun-tahun saya melewati masa sulit untuk memulai menulis tentang Ayah. Padahal kami punya niat yang sama. Menulis kumpulan cerpen bersama. Ayah mempercayai saya sebagai editor buku itu. Sebelas tahun berlalu, buku itu tak kunjung jadi.

 Selama sebelas tahun tanpa motivator, saya seperti bergerak di jalan setapak tanpa lampu. Biasanya akan ada kalimat bijak yang dikutip ntah dari mana muncul di tiap perbincangan. Selama sebelas tahun pula, saya tidak pernah kuat menulis apapun tentang Ayah. Air mata membuat tulisan di layar lebih buram dan jemari membeku di atas keyboard.

Sama seperti tulisan ini yang tidak berenergi. Mengingat kepergiannya yang tanpa aba-aba menyedot energi saya sampai kosong. Sudah sebelas tahun, tetapi menulis tentangnya adalah sesuatu yang belum sanggup saya lakukan.

Saat menulis tulisan ini, saya sedang berada di Takengon. Berharap menjenguknya di vila dengan pemandangan komersil yang kini tak bisa dinikmati dengan gratis. Rumah impian yang ingin Ayah bangun untuk menghabiskan hari tua sambil mendekatkan diri kepada Sang Khaliq.

Ya, kini memang Ayah berada dalam vila di atas bukit dengan pemandangan alam Takengon. Ayah sudah menghadap Sang Khaliq.

16 komentar

  1. ::(( jadi keinget kalo sedih2 begini soal kehilangan. Beberapa waktu lalu jg lagi mengalami hal berat karena kehilangan orang yang disayang, kayak ngga mungkin gitu rasanya, tp ya harus dihadapi kan ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hal yang paling nggak bisa ditoleransi ya kehilangan karena kematian. Sesiap apapun, tetap nggak siap.

      Hapus
  2. Ya ampun kak aku turut merasakan karena mengalami hal yang sama. 12 tahun yang lalu Ayahku juga sudah tiada. Insya Allah kak, Ayah kak Ulfa pasti bangga dengan penghargaan yang kak Ulfa dapat. Kenangan indah bersama Ayah memang tak akan bisa terlupakan. Alfatihah buat Ayah kak Ulfa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Kak. Aku kok jadi mewek baca komentar ini.

      Hapus
  3. Nggak berasa baca ini jadi ikut meneteskan air mata Kak. Insya Allah husnul khatimah untuk Ayahanda Kak Ulfa ya. Masya Allah, ayah meski tanpa kata tapi usahanya untuk anak-anak luar biasa ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mbak. Alhamdulillah. Sedih banget, tapi begitulah hidup. Ada yang bertambah dan ada yang dikurangi.

      Hapus
  4. Jadi ingat almarhum ayah saya yang meninggal belum lama ini. Sedih luar biasa memang ditinggalkan salah satu orang yang terdekat dalam kehidupan kita, tapi memang begitulah jalannya hidup, pasti ada saat-saat ditinggalkan atau meninggalkan.
    Semoga mereka yang telah meninggalkan kita duluan diberi tempat terbaik oleh Allah Swt, min rayaadil jannah. Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin ya, Rabb. Semoga kita yang ditinggalkan selalu mengirimkan doa terbaik untuk mereka.

      Hapus
  5. Kehilangan ayah memang menyedihkan apalagi kenangannya sangat memorable banget. Saya pun menulis kisah tentang ayah, meski sudah satu dasawarsa lebih beliau pergi kenangannya masih lengkap utuh di memori kepala saya.

    BalasHapus
  6. Cuaca di bandung lagi mendung karena semalam diguyur hujan dan aku membaca kisah kakak seketika langsung melow. Walau sudah lewat 11 tahun tapi raganya pasti masih terasa sekali, apalagi kalau ada momen tak sengaja yang mengingatkan ke almarhum Al-Fatihah untuk bapak kak Ulfa ya 🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Kak Mia. Semoga kenangan dengan Ayah tetap abadi di hati dan ingatan.

      Hapus
  7. AlFAtihah untuk ayahnya ya mbak. Membaca ini auto teringat bapak almarhum, langsung ikutan mewek, kepergian yang tiba-tiba. Beliau sudah tenang disana, tapi saya rindu, AlFatihah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita memang tidak bisa benar-benar melepaskan ya, Mbak. Kehilangan itu berat, ikhlas yang kita jadikan sebagai tali melepaskan ternyata tali rindu yangg terus kita ulurkan.

      Hapus
  8. mengalami yang embak rasakan juga. Almarhum ayah sudah dikuburkan tapi sayanya belum ada di situ karena perjalanan jauh. Dan dalam waktu yang singkat kami sekeluarga waktu itu juga kaget, tidak menyangka. Karena takdir ya sudah kami ikhlas

    BalasHapus