Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Blue Window (Ep. 6): Mie Mak Beth

Mencari kos tidak semudah menemukan rumah dengan tulisan 'disewakan'. Banyak cerita dan derita yang harus dilewati oleh pencari kos.

Perhatian! Chapter ini akan lebih sempurna jika Teman Belajar sudah membaca chapter Blue Window sebelumnya. Oh, iya, Blue Window merupakan sekuel dari kisah Aku dan Cerita dari Kamar ke Kamar

(*_*)

Kata orang, keputusasaan membuat orang rela melakukan apa saja dalam hidupnya. Aku yakin sedang putus asa dan tidak dapat berpikir apapun selain menerima dimana saja kos yang ditawarkan oleh orang. Bahkan jika harus menyakiti bapak kos aku yang sekarang. Begitulah kiranya doa dalam hatiku saat pulang dari perburuan kos.

Nyatanya saat kami mengeluh masalah kos dan kuungkapkan deritaku di Kedai Mie Mak Beth, aku melakukannya. Ya, aku yang putus asa ini langsung menceritakan kisahku yang menyedihkan saat dipancing Mak Beth. Padahal kami semua tahu bahwa Mak Beth biang gosip di komplek. Siapa yang bisa menjamin ceritaku hari ini tidak sampai ke telingan Pak Kos kami.


Blue Window
Blue Window

Aku tidak peduli. Bahkan ketika kalimat ini kuucapkan, “mau bagaimana lagi, Mak Beth. Mungkin Pak Kos memang berniat sedekah kamar, bukan cari uang. Meskipun setiap bulan kami selalu dirong-rong tarif listrik yang nggak masuk akal.”

Mak Beth mendengar dengan sabar. Seolah beliau adalah psikolog yang handal untuk memecahkan masalah anak kos melalui sepiring mie seharga lima ribu rupiah. Dia juga mengangguk-angguk dan memasang wajah peduli di depan kami semua. Membuat gejolak lara kami sebagai anak kos tertumpahkan di depan piring mie yang perlahan ludes tak terasa.

Nova paling semangat mengulang cerita bagaimana aku diusir. Seolah apa yang aku alami adalah momen paling menyedihkan dalam hidup. Dia lupa menceritakan kalau momen terbaik dalam hidupku langsung diterima bekerja tanpa jeda. Ini harusnya menjadi nilai plus dalam cerita Nova.

Sayangnya, di belahan bumi manapun semua sama saja. Momen terbaik dari seseorang tetap saja bagian kekalahan dan tercundangi oleh hidup. Maka aku menjadi pendengar sejati kisahku sendiri yang ditutur oleh orang lain. Nova! Dia menceritakan kisahku dengan berbagai bumbu. Ada yang dikurang, banyak yang ditambah. Posisiku sebagai pendengar hanya meringis dalam tangis tertahan.

“Keterlaluan si Abbas itu. Masa anak kos belum wisuda sudah disuruh keluar. Itu kan sama saja dengan diusir,” komentar Mak Beth dengan nada suara mengandung amarah.

“Iya, Mak Beth. Aku sudah bilang sama Kak Naeva kalau dia diusir. Kak Naeva sih nggak percaya. Masih santai saja dia. Kalau aku sudah dari kapan keluar,” tambah Nova. Nyatanya tidak begitu. Aku cukup sadar diri. Buktinya aku sudah mencari kos kemana-mana.

“Apalagi yang kamu tunggu, Naeva? Punya harga diri sedikit. Apalagi kalau kamu sudah kerja,” tekan Mak Beth memprovokasi.

“Iya, Kak Naeva. Segera angkat kaki!” Nova ikut mengompori.

“Kalau kamu masih di situ, dia pikir kamu sangat membutuhkan dia. Semakin menjadi akal busuk si Abbas itu,” tambah Mak Beth lagi. Semakin sadis.

“Kak Naeva bisa tinggal di kos elit itu sebulan. Nanti akan aku bantu cari kos lain buat Kak Naeva.”

“Jangan! Kos elit itu banyak nggak jelasnya. Di situ banyak mahasiswa simpanan pejabat.”

“Eh, Mak Beth. Ini serius kah?”

“Iya, benar. Kamu kenal dengan Aiza? Anak dari kampung Paya Lumpat?” Mak Beth bertanya pada Nova. Tidak lagi peduli dengan cerita sedihku.

Dalam sekejap, topik tentang aku diusir oleh Bapak Kos berubah menjadi gosip panas tentang Aiza. Anak kos yang kudengar pernah bekerja di sebuah bank swasta dengan seragam berwarna royal blue.  Mak Beth bercerita kalau dia pernah diusir dari kos. Dia juga pernah digerebek orang kampung. Dia juga menjadi simpanan pejabat.


Kamar Kos
Kamar kos sebagai ruang privasi anak kos.
[Photo: Pexels]

Bahasa Mak Beth tidak disensor. Terlalu nikmat dinikmati oleh orang-orang haus gosip seperti Nova. Senikmati menyendok sesuap demi sesuap mie instan yang diolah dengan bumbu mie Aceh langganan kami. Aku hanya mendengar, tidak tertarik untuk bergabung. Masalah rumah kosku jauh lebih penting daripada aib yang dilakukan oleh Aiza.

Mak Beth berhenti bercerita ketika seorang gadis cantik melewati kedainya. Mak Beth mencolek Nova dan mengatakan itu teman Aiza. Diduga juga menjadi dosen, tapi belum ada bukti untuk diciduk. Ah, hidup ini memang mengerikan.

“Naeva, rumah sebelah ini ada kamar kosong. Kamu coba saja tanya si Humaira. Dia yang tinggal di bawah. Kalau mau tanya adiknya juga boleh. Sekarang adiknya di Takengon,” kata Mak beth tiba-tiba.

Mataku melebar dan berbinar. Setidaknya aku memiliki harapan untuk tinggal di kamar kos yang terjangkau dengan isi dompet. Aku sudah tidak peduli jika kos itu hanya dibatasi oleh lapangan volly menuju ke kos lamaku. Terpenting sekarang aku punya tempat tinggal untuk berteduh.

Nova dan Mak Beth juga mengatakan kalau sisi baiknya aku tinggal di sini untuk membuat hati Pak Kos panas. Biar tahu diri. Agar tahu rasanya bukan menjadi prioritas. Aku harus keluar dan menunjukkan bahwa hidup punya pilihan.

Sementara aku sibuk mengalkulasi sisa tabungan yang kupunya untuk pindah. Mengira-ngira kalau saja uang yang kupunya tidak cukup untuk menyewa kamar di rumah baru.

[*_*]

“Jangan beritahu kalau kamu sudah selesai kuliah. Cari cara dan alasan untuk bilang kalau kamu sedang kuliah,” pesan Mak Beth sebelum aku pulang. Aku hanya mengiyakan. Namun tidak aku sangka kalau kalimat Mak Beth itu ternyata membuat aku kepikiran sekali.

Apa alasan aku harus merahasiakan statusku yang bukan mahasiswa lagi? Ah, aneh sekali peraturannya. Pak Kos memintaku minggat karena aku sudah selesai kuliah. Sekarang Mak Beth juga memintaku untuk merahasiakan status ini. Sebenarnya apa yang salah dengan kuliah atau tidak. Aku jadi pennasaran. Lebih penasaran alasan ini daripada satu kos diusir dan misteri si Aiza itu.

Rasa penasaran itu menguap ketika ketukan pintu berulang kali akhirnya terbuka. Sebentuk wajah berminyak dengan kulit putih tidak terawat menyembul dibingkai dengan mukena renda putih di ambang pintu. Wanita ini pasti Humaira, kakak si pemilik kos Blue Window ini.

Aku mencoba tersenyum meski terlihat kaku. Si pemilik wajah tidak membalas senyumku. Tatapan tajamnya menyelidik saat aku memperkenalkan diri, “saya Naeva, Kak. Dapat informasi dari Mak Beth kalau di sini masih ada kamar kosong untuk kos. Apa masih ada, Kak?”

Aroma uang ternyata merubah sikapnya. Dia tersenyum dan mempersilahkan kami masuk ke ruangan dua kali enam meter. Semakin ke belakang, ruangan semakin sempit dengan penataan barang yang tidak begitu baik.


Model kamar kos
Kamar loteng salah satu alternatif kamar kos.
[Photo: Pexels]

Aku memperkenalkan tujuanku bertemu dengannya. Tanpa banyak basa-basi, Kak Humaira mengajak kami langsung melihat kondisi kamarnya. Kami keluar dari rumah utama, lalu masuk melalui lorong sempit menuju ke kamar di lantai dua.

“Ini dapurnya. Ini kamar mandi, ada mesin pompa air dan bisa nimba juga. Kalau mati lampu terpaksa nimba, kan?” Kak Humaira menunjukkan dapur berukuran dua meter kali semeter.

Meja memasaknya sangat sempit dan mepet ke dinding kamar mandi. Hanya muat satu kompor gas dua tunggu di sana. Ada sebuah rak piring kaca yang penuh dengan piring hadiah deterjen. Perkakas masaknya lumayan lengkap. Luar biasa sekali dapur anak kos punya kompor gas dan blender. Seperti menjawab pertanyaan liar di kepalaku, Kak Humaira menjelaskan perkara perkakas ini.

“Anak kos sebelumnya punya uang kas, mereka membeli semua barang ini dari uang kas. Siapa yang sudah selesai kuliah dan keluar dari kos, barangnya nggak dibawa lagi,” jelasnya. Aku mengangguk mengerti.

Kamar mandinya masih semen biasa. Toiletnya agak tinggi, sementara sumurnya lumayan rendah. Hanya satu cincin sumur yang membatasi antara lantai dan cincin sumur itu. Bahkan jarak antara cincin sumur dan area jamban hanya setengah cincin.

Kami naik ke lantai dua melalui tangga curam yang agak tegak. Ada satu kamar memanjang di ujung tangga sebelah kanan. Kamar itu tergembok, sepertinya memang sudah ada yang tempati. Melewati lorong sempit, kami masuk ke area kamar yang sebenarnya. Tiga kamar dengan ukuran yang sama, ruang tamu yang luas memanjang, tiga jendela biru yang lebar, dan teras yang memanjang tempat menjemur pakaian.

Aku merasa cocok dengan rumah ini. Ntah mengapa, rasanya aku seperti berjodoh dengan kos kayu ini. Hanya satu kamar tersisa. Kamar tengah yang tidak ada jendela dan cenderung gelap. Aku tidak tahu kenapa, aku suka kamar itu. Menyalakan lampu di siang hari juga bukan masalah buatku.

Di ruang tamu ada satu unit TV flat dan aquarium yang sudah kering airnya. Tidak ada ikan, hanya batu-batu berwarna-warni yang menjadi hiasan aquarium di sana. Sedikit sentuhan seni, kos ini akan hidup layaknya rumah keluarga.

Usai tur di kos, aku sudah memutuskan untuk membayar panjar. Kak Humaira tampak senang sekali. Dia langsung menerima uangku dan bicaranya lebih luwes. “Kalau perlu apa-apa ntar boleh telp atau WA saja ya, Va.”

Aku mendapat nomor ponselnya yang didikte dengan bahagia. Sore itu aku pulang ke kos bersama Nova dengan kelegaan luar biasa. Tidak ada komentar, tidak ada keinginan lain selain ingin secepatnya hengkang dari kos Pak Abbas.

Posting Komentar