Teman
Belajar, mungkin kalian pernah nggak nyambung ketika nongkrong terus ada
sekelompok dosen lagi ngobrol. Atau tanpa sengaja terjebak dalam tongkrongan
sirkel dosen. Mereka ngomongnya kok pakai istilah dari planet mana, ya. Nah,
saya juga pernah mengalami hal yang sama. Namun istilah dalam sertifikasi dan
jabatan akademik itu memang umum di kalangan dosen.
Penting! Sebelum dan Sesudah Menjadi Dosen
Saya
ingat sekali masa sedang menempuh pendidikan S2 di China. Saat saya kembali ke
tanah air, pasti ada teman-teman yang menghubungi untuk ketemuan. Ada yang
sedang nongkrong, diskusi, atau merancang masa depan karir. Paling berkesan
saat membahas poin terakhir, merancang masa depan karir.
![]() |
Profesi dosen harus menyelesaikan pendidikan magister [Photo: Pexels] |
Sebelumnya,
saya tidak bertekad untuk menjadi dosen. Dosen hanya jalan pintas nekad yang
keterusan dan tidak bisa kembali. Terlanjur nyaman dan sudah menikmatinya
seperti profesi idaman saya yang lainnya. Caile! Abaikan, ya.
Satu hari, saya bertemu dengan seorang anak muda yang lebih muda dari saya. nggak tanggung-tanggung, dia kuliah S2 di UI. Awalnya kami bercerita tentang kuburan di bilangan Lingke yang menjadi tanda makam dua orang, lelaki dan perempuan. Kebetulan dua orang yang bertemu dengan saya ini namanya ada di makam itu dan berdampingan. Kami menertawakan kebetulan tersebut.
Mulailah
pertanyaan menggemaskan teman saya pada temannya, “apa yang kamu lakukan
setelah selesai kuliah S2. Secara kamu dari UI, lho. UI kan nggak
kaleng-kaleng, bro!”
Si
teman sambil mengisap rokok, mengembuskan asap, lalu terkekeh. Bukannya
langsung menjawab, tapi dia menatap temannya dengan tatapan remeh. “S2, lho.
Apalagi kalau bukan jadi dosen? Memangnya apa pekerjaan untuk S2 selain dosen?”
Seketika
dunia akademik dan profesi yang menjanjikan di kepala saya hancur lebur
dibuatnya. Idealisme saya mulai teruji, memangnya S2 harus menjadi dosen?
Tidak, sih. Namun sebagian orang menempatkan dosen sebagai pekerjaan yang
menjanjikan untuk lulusan S2. Seperti teman saya ini.
Faktanya,
ketika saya masuk ke dunia akademik, saya dikagetkan dengan berbagai istilah
yang sama sekali asing di unia saya. Dua di antaranya adalah istilah serdos dan
jabfung. Aduh, apa ini?
Waktu
itu status saya sudah selesai kuliah dan masuk ke dunia akademik sebagai Dosen
Luar Biasa (DLB). Bagi yang pernah mengawali karir akademik dengan menjadi
dosen tentu paham sekali suka duka menjadi DLB. Setiap semester deg-degan
dengan mata kuliah yang diberikan. Dompet kosong, tapi hidup harus berlanjut.
Sementara belum ada tanda-tanda pencairan honor DLB. Hal besar begini masih
dianggap sepele dan kecil bagi sebagian orang. Akan tetapi, ada yang lebih
besar lagi. Istilah yang selalu terdengar begitu masuk kampus.
Di
bagian istilah ini mungkin kita akan pusing. Bertanya, mencari di Google,
sampai mengalaminya sendiri baru paham arahnya kemana. Saya masuk ketiganya,
nih. Belum pas rasanya jika belum mengalaminya sendiri.
Kesimpulan
saya sederhana sekali waktu itu, teryata menjadi dosen tidak segampang yang
saya kira. Setelah mendapatkan semuanya, saya menyadari hal lain yang lebih lucu.
Ternyata perjalanan dosen itu masih panjang. Dosen bukan saja bentrok dengan
manajemen waktu, tapi juga dibenturkan dengan regulasi yang setiap saat
berubah. Na, lho!
Istilah Dalam Sertifikasi dan Jabatan Akademik
Jika
Teman Belajar termasuk dosen muda atau sering ngumpul dengan temannya yang
dosen, atau ortunya dosen. Ini dia istilah dalam sertifikasi dan jabatan
akademik yang sering masuk dalam obrolan dosen.
![]() |
Jabatan akademik membutuhkan pengumpulan dokumen [Photo: Pexels] |
Serdos (Sertifikasi Dosen)
Sertifikasi
dosen atau serdos merupakan proses kompetensi dosen untuk mendapatkan
Sertifikat Pendidik dan Tunjangan Profesi Dosen (TPD). Serdos ini impian semua
dosen karena cuannya nambah satu kali gaji, tapi untuk mendapatkannya juga ada
syarat tertulis yang butuh waktu. Mulai tahun 2022, mengikuti Peningkatan
Kompetensi Dosen Pemula (PKDP) salah satu syarat utama untuk diikutkan
dalam peserta serdos setelah syarat lain seperti masa kerja, jenjang
pendidikan, jabatan akademik, dan usia lolos.
Hampir
semua dosen dipastikan memperjuangkan serdosnya. Ibaratnya, kalau serdos aman
maka semua urusan duniawi juga aman. Selain cuannya nambah, serdos juga
menambah rasa percaya diri dosen di dunia akademik. Iyalah, kan sudah memegang
sertifikat pendidik.
Jabatan Akademik
Teman
Belajar tentu pernah mendengar istilah profesor, kan? Nah, profesor adalah
salah satu tingkatan jabatan akademik. Jadi, tingkatan akademik dosen itu ada 4
(empat) tingkatan, yaitu: Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, dan Guru Besar
(Profesor). Pengangkatan jabatan akademik pertama kali dosen disebut Asisten
Ahli. Untuk mendapatkan jabatan akademik atau meningkatkan jabatan akademik ada
syarat yang harus dilengkapi, lho. Untuk melengkapinya pun butuh waktu. Jadi,
jangan heran kalau kebanyakan profesor itu baru mendapatkan jabatan akademik
itu sudah di usia yang sangat senior.
Penilaian Angka Kredit (PAK)
Istilah
Penilaian Angka Kredit (PAK) ini lumayan membingungkan bagi sebagian besar
dosen muda. Baru masuk dunia akademik, tetiba banyak yang ngomongin PAK. Aduh,
apaan itu? Nah, PAK ini syarat untuk kenaikan jabatan akademik. Ada jumlah
nilai tertentu yang dijadikan standar untuk kenaikan jabatan akademik sesuai
dengan tingkatannya. Misalnya saja untuk Asisten Ahli (AA) nilai PAK-nya harus
150 minimal, lektor harus mencapai 200 minimal atau 300 untuk Lektor III/d.
Penilaian
Angka Kredit (PAK) diambil dari unsur tridarma perguruan tinggi yang terdiri
dari unsur pendidikan, penelitian, pengabdian, dan penunjang. Kalau untuk AA
bidang penelitiannya lumayan gampang. Masa saya cukup mengajukan jurnal yang
tidak terindeks SINTA saja sudah cukup tuh. Sedangkan untuk Lektor harus
mengajukan jurnal yang sudah terindeks SINTA. Semakin tinggi jenjang yang
dicapai, semakin tinggi tuntutannya. Kalau untuk guru besar atau profesor sudah
tentu Scopus, dong.
Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN)
Salah
satu validasi seorang dosen dibuktikan dengan Nomor Induk Dosen Nasional
(NIDN). Meskipun sekarang sudah mulai dipakai Nomor Unik Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (NUPTK), tetapi NIDN adalah sebutan dan validasi seorang dosen.
NIDN dikeluarkan secara khusus untuk dosen di kampus negeri atau swasta. Meski
ngurusnya nggak seribet jabatan akademik, tapi administrasinya lumayan.
![]() |
Validasi dosen Indonesia dibuktikan dengan NIDN [Photo: Pexels] |
Pengurusan
NIDN tidak harus sudah berstatus dosen tetap PNS, tapi NIDN dikeluarkan untuk
dosen tetap di sebuah perguruan tinggi. NIDN adalah identitas resmi dosen
tetap. Dosen diakui dengan kepemilikan NIDN-nya.
Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK)
Kebalikan dari NIDN, Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) merupakan identitas dosen tidak tetap yang bertugas di PTN atau PTS. Dosen yang mendapatkan NIDK ini juga nggak sembarangan, lho. Biasanya dia punya kualifikasi khusus yang dibutuhkan oleh kampus untuk menarik dosen ini dan mengeluarkan NIDK. Misalnya saja seorang praktisi, pejabat daerah yang bisa mendukung keilmuan di program studi, dan alasan lainnya.
Nah, itu dia istilah yang kerap kita dengar begitu masuk dunia kampus atau akademisi. Sekarang, nggak bakal kebingungan lagi kan muncul singkatan di atas saat lagi nongkrong dengan sirkel akademisi.
Posting Komentar