Perhatian! Chapter ini akan lebih sempurna jika Teman Belajar sudah membaca chapter Blue Window sebelumnya. Oh, iya, Blue Window merupakan sekuel dari kisah Aku dan Cerita dari Kamar keKamar.
(*)
(*) (*)
“Kalau
Kak Naeva keluar sekarang, Kak Naeva kalah dari Bapak Kos. Sama saja dengan Kak
Naeva mengakui kalau kamu itu memang layak keluar dari sini.” Ucapan Nova
membuatku terdiam beberapa saat.
![]() |
Blue Window [Created by Canva] |
Via
menambahkan, “lagian Kak Naeva kan bayar sampai akhir bulan. Kenapa keluar
sebelum waktunya? Memangnya Pak Abbas mau kembalikan uang Kak Naeva?”
Aku
menggeleng, “bukannya kita sama-sama tahu kalau beliau orang pelit?”
“Makanya,
Kak. Jangan langsung keluar,” tegas Via.
“Atau
Kak Naeva sudah muak dengan kami?” tanya Naeva frontal.
“Nggak
lah. Kalian itu tetap adik-adik terbaik yang pernah aku miliki selama ngekos di
sini,” jawabku diplomatis. Tidak sepenuhnya benar, tapi itu tulus.
Nova
tampak puas dengan jawabanku, “kalau Kak Naeva pindah nanti, kita punya tempat
nongkrong baru. Kalau telat-telat pulang nanti, kita nggak perlu lewat ruang
tamu Pak Abbas lagi untuk naik ke atas.”
Sejujurnya
aku menciut dengan kalimat terus terang Nova. Pulang telat yang dimaksudkan
oleh gadis itu bukan sesuatu yang bisa dimaklumi. Sejak pacaran dia mulai
sering pulang malam. Kepolosannya membeberkan segalanya kepadaku. Bahkan aib
yang tidak dia tahu bahwa itu sebuah ketololan.
Nova
kerap menghabiskan waktu di kos pacarnya. Terkadang dia baru keluar dari sana
menjelang maghrib, kemudian jalan-jalan menghabiskan waktu di seputaran kota.
Lalu kembali ke kos jelang tengah malam. Penghuni kos sering dibuat kesal oleh
tingkahnya. Dia bisa menelepon siapa saja tengah malam untuk membukakan pintu.
Via
satu-satunya orang yang berani menegur Nova. Mereka sempat tidak bicara
seminggu lebih. Via dianggap terlalu ikut campur dengan urusan pribadi Nova.
Nova datang kepadaku dan bercerita kalau dia tidak nyaman dengan sikap
anak-anak kos. Saat itulah aku memberanikan diri mengutarakan pendapatku
tentang tingkah Nova belakangan.
Aku
menyampaikan pada Nova kalau itu bukti kepedulian Via. Bagaimanapun dia tidak
enak hati kalau Nova menjadi buah bibir dan dianggap cewek tidak benar. Apalagi
Pak Abbas, tentu saja beliay mengkeret, karena bagaimanapun reputasinya sebagai
orang yang menikahkan orang akan tercoret. Ini rumah kos Pak Abbas, beliau
punya hak membuat aturan. Termasuk mengusir anak kos yang mencoreng namanya.
Mengusir?
Kata ini membuat hatiku tidak enak. Jangan-jangan benar kata Nova dulu. Aku
memang diusir dari kos.
(*) (*) (*)
Seminggu
tersisa di kos aku menghabiskan waktu di kos dengan packing. Mulanya aku
mengkardusi buku-buku. Setelah berada dalam dus, aku baru menyadari kalau
bukuku sangat banyak. Pantas saja teman-teman kos menyebutnya kamarku seperti
perpustakaan. Aku tidur di perpustakaan, bukan kamar. Saking banyaknya aku
sampai kesulitan mencari kardus mie instan atau air mineral untuk packing.
Packing salah satu kegiatan sebelum pindahan
[Photo: Pexels]
“Kakak
kapan pindah?” tanya Yumna begitu aku menyelesaikan satu dus terakhir bukuku.
Aku
menempelkan catatan di luar dus untuk memudahkan pencarian nanti. Judul buku
yang masuk dus. Kurasa aku akan menghabiskan waktu lebih banyak untuk menata
kembali kamar kos baruku.
“Seperti
kesepakatan kita. Aku akan keluar satu atau dua hari sebelum sewa kos ini
habis,” jawabku. Kami memang sepakat untuk melakukan itu. Kata Via, itulah
bentuk seadil-adilnya perlakuan. Jangan mau kalah.
Via
memandang sekeliling, “belum selesai packing-nya, Kak?”
“Nggak
ada kardus. Susah sekali mencari kardus ternyata. Aku minta sama Mak Roih, tapi
beliau menjual. Nggak boleh beli satu atau dua aja, Via. Harus beli semuanya
sekaligus. Lha, buat apa aku kardus satu becak?”
Via
tertawa dan kami mulai bergosip tentang Mak Roih yang terlalu random
dalam bersikap. Kelakuannya yang absurd juga meresahkan warga komplek.
Beberapa wanita dan emak-emak yang hobi bergosip lantas mengaitkan karena Mak
Roih belum punya anak.
“Memangnya
ada hubungannya, Kak? Bukannya anak itu hak Allah mau kasih atau tidak?” tanya
Via. Kupikir dia bertanya lebih kepada meminta validasi atas pikirannya.
“Iya.
Nggak ada yang berhak untuk menghakimi atau menuduh. Namanya kita hidup
bersosial, tetap saja ada pihak-pihak yang merasa diri lebih baik. Omongan
orang tetap saja nggak bisa kita kontrol.”
Kami
diam beberapa saat. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku masih berpikir
bagaimana mendapatkan kardus dalam waktu beberapa hari ini. Sampai satu ide
melintas dalam pikiranku.
“Kayaknya
mendingan aku beli kantong plastik besar saja ya, Via. Nanti semua baju yang
nggak masuk tas masukkan ke dalam plastik saja,” kataku meminta validasi atas
ide yang muncul.
“Iya,
lagian kakak juga tinggalnya di lantai dua. Kebayang nggak ngangkat koper
berat. Mana tangganya terjal lagi. Seram, ah. Kalau ada apa-apa gimana?” Via
mengingatkan aku pada tangga. Lalu soal perkakas dapurku yang nggak sedikit di
rumah kos ini. “Kakak punya peralatan masak yang banyak banget itu, Kak.”
“Piring
hadiah deterjen itu untuk kalian saja lah. Aku beli lain saja ntar. Setahun
juga bakalan dapat selusin, kok.”
“Yakin,
Kak? Itu dua lusin lebih, lho.”
Aku
mengangguk. Yakin sekali untuk meninggalkan dua lusin lebih piring untuk
mereka. Anggap saja kenangan dariku. Lagipula kalau aku singgah ke sana, aku
akan makan di piringku sendiri.
(*) (*) (*)
Aku
tidak menyangka sisa hariku hanya tinggal tiga hari lagi. Semua barang sudah
terbungkus dalam plastik kresek besar berwarna biru. Kini kamarku dipenuhi
denggan semua barang yang siap aku angkut. Tanpa mereka sadari, aku sudah
menyicil barang-barang dalam kresek ke kos baru. Aku cukup sadar diri tidak
bisa bergantung sepenuhnya pada orang lain.
Meskipun
hubungan kami dengan kos sebelah cukup baik, tapi aku enggan meminta bantuan
pada penghuni kos sebelah. Rencananya aku akan meminta bantuan untuk mengangkat
lemari kecil saja pada mereka. Meskipun sampai sekarang aku tidak yakin pada
siapa aku bisa meminta.
Hubunganku
dengan mereka tidak dekat. Aku sangat menjaga jarak dengan mahasiswa di kos
sebelah. Menurutku, kedekatan dengan mereka hanya akan menimbulkan masalah
baru. Dimulai dari urusan asmara dan akan berujung dengan urusan samara. Ah,
membayangkan saja aku sudah mual.
Aku
menatap jam dinding yang mati, tapi dari angka digital di ponsel aku tahu
sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Tidak ada seorangpun anak kos yang
menampakkan wajahnya. Mereka belum bangun. Semalaman maraton drakor di kamar Yumna.
Setiap
Minggu pagi Pak Abbas dan istrinya ke lapangan Blang Padang ikut jalan sehat.
Mereka baru kembali pada pukul sepuluh pagi nanti. Aku memanfaatkan momen sepi
ini untuk mengangkut satu persatu kantong plastik berisi pakaian ke kos baru.
Tidak jauh dan tidak sulit.
Selesai
dua belas plastik, aku singgah di Kedai Kak Roh untuk membeli nasi bungkus
enak dan murah. Mak Roih sepertinya tahu aku akan pindah ke rumah Jendela Biru.
Dia tidak banyak bertanya, hanya memberi pesan.
![]() |
Nasi gurih yang mudah didapat di warung kopi kecil di Aceh [Photo: Pexels] |
“Kamu
jaga diri di situ, ya. Berpakaian yang sopan walaupun kamu tinggalnya di atas.
Kamar mandi di bawah, kan?” kata Mak Roh.
“Iya,
Mak Roih. Makasih atas pesannya,” kataku meski tidak mengerti tujuannya
memperingati aku seperti itu. Aku rasa aku tidak perlu diingatkan hal-hal
seperti itu. Aku langsung pulang daripada tersangkut nasihatnya yang semakin
panjang dan menceracau kemana-mana nantinya.
Di
kos aku melihat Desi duduk di teras sambil menatap kosong ke lapangan volly.
Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Dua bungkus nasi yang tadinya kubeli
untuk diriku sendiri sepertinya memang harus berbagi.
“Desi, cepat sekali bangunnya?” sapaku. Kusodorkan sebungkus nasi untuk Desi. “Belum sarapan, kan?”
“Wah, pas banget Kak Naeva.” Wajah Desi berbinar senang. Kami melanjutkan sarapan berdua tanpa obrolan. Hening.
Posting Komentar