Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Blue Window (Ep. 7): Packing

Packing menjadi bagian penting sebelum pindah ke tempat baru. Bagi Naeva, packing buku dalam dus yang paling sulit karena tidak cukup dus.

 Perhatian! Chapter ini akan lebih sempurna jika Teman Belajar sudah membaca chapter Blue Window sebelumnya. Oh, iya, Blue Window merupakan sekuel dari kisah Aku dan Cerita dari Kamar keKamar.

(*) (*) (*)

“Kalau Kak Naeva keluar sekarang, Kak Naeva kalah dari Bapak Kos. Sama saja dengan Kak Naeva mengakui kalau kamu itu memang layak keluar dari sini.” Ucapan Nova membuatku terdiam beberapa saat.


Blue Window
Blue Window
[Created by Canva]

Via menambahkan, “lagian Kak Naeva kan bayar sampai akhir bulan. Kenapa keluar sebelum waktunya? Memangnya Pak Abbas mau kembalikan uang Kak Naeva?”

Aku menggeleng, “bukannya kita sama-sama tahu kalau beliau orang pelit?”

“Makanya, Kak. Jangan langsung keluar,” tegas Via.

“Atau Kak Naeva sudah muak dengan kami?” tanya Naeva frontal.

“Nggak lah. Kalian itu tetap adik-adik terbaik yang pernah aku miliki selama ngekos di sini,” jawabku diplomatis. Tidak sepenuhnya benar, tapi itu tulus.

Nova tampak puas dengan jawabanku, “kalau Kak Naeva pindah nanti, kita punya tempat nongkrong baru. Kalau telat-telat pulang nanti, kita nggak perlu lewat ruang tamu Pak Abbas lagi untuk naik ke atas.”

Sejujurnya aku menciut dengan kalimat terus terang Nova. Pulang telat yang dimaksudkan oleh gadis itu bukan sesuatu yang bisa dimaklumi. Sejak pacaran dia mulai sering pulang malam. Kepolosannya membeberkan segalanya kepadaku. Bahkan aib yang tidak dia tahu bahwa itu sebuah ketololan.

Nova kerap menghabiskan waktu di kos pacarnya. Terkadang dia baru keluar dari sana menjelang maghrib, kemudian jalan-jalan menghabiskan waktu di seputaran kota. Lalu kembali ke kos jelang tengah malam. Penghuni kos sering dibuat kesal oleh tingkahnya. Dia bisa menelepon siapa saja tengah malam untuk membukakan pintu.

Via satu-satunya orang yang berani menegur Nova. Mereka sempat tidak bicara seminggu lebih. Via dianggap terlalu ikut campur dengan urusan pribadi Nova. Nova datang kepadaku dan bercerita kalau dia tidak nyaman dengan sikap anak-anak kos. Saat itulah aku memberanikan diri mengutarakan pendapatku tentang tingkah Nova belakangan.

Aku menyampaikan pada Nova kalau itu bukti kepedulian Via. Bagaimanapun dia tidak enak hati kalau Nova menjadi buah bibir dan dianggap cewek tidak benar. Apalagi Pak Abbas, tentu saja beliay mengkeret, karena bagaimanapun reputasinya sebagai orang yang menikahkan orang akan tercoret. Ini rumah kos Pak Abbas, beliau punya hak membuat aturan. Termasuk mengusir anak kos yang mencoreng namanya.

Mengusir? Kata ini membuat hatiku tidak enak. Jangan-jangan benar kata Nova dulu. Aku memang diusir dari kos.

(*) (*) (*)

Seminggu tersisa di kos aku menghabiskan waktu di kos dengan packing. Mulanya aku mengkardusi buku-buku. Setelah berada dalam dus, aku baru menyadari kalau bukuku sangat banyak. Pantas saja teman-teman kos menyebutnya kamarku seperti perpustakaan. Aku tidur di perpustakaan, bukan kamar. Saking banyaknya aku sampai kesulitan mencari kardus mie instan atau air mineral untuk packing.


packing
Packing salah satu kegiatan sebelum pindahan

[Photo: Pexels]

“Kakak kapan pindah?” tanya Yumna begitu aku menyelesaikan satu dus terakhir bukuku.

Aku menempelkan catatan di luar dus untuk memudahkan pencarian nanti. Judul buku yang masuk dus. Kurasa aku akan menghabiskan waktu lebih banyak untuk menata kembali kamar kos baruku.

“Seperti kesepakatan kita. Aku akan keluar satu atau dua hari sebelum sewa kos ini habis,” jawabku. Kami memang sepakat untuk melakukan itu. Kata Via, itulah bentuk seadil-adilnya perlakuan. Jangan mau kalah.

Via memandang sekeliling, “belum selesai packing-nya, Kak?”

“Nggak ada kardus. Susah sekali mencari kardus ternyata. Aku minta sama Mak Roih, tapi beliau menjual. Nggak boleh beli satu atau dua aja, Via. Harus beli semuanya sekaligus. Lha, buat apa aku kardus satu becak?”

Via tertawa dan kami mulai bergosip tentang Mak Roih yang terlalu random dalam bersikap. Kelakuannya yang absurd juga meresahkan warga komplek. Beberapa wanita dan emak-emak yang hobi bergosip lantas mengaitkan karena Mak Roih belum punya anak.

“Memangnya ada hubungannya, Kak? Bukannya anak itu hak Allah mau kasih atau tidak?” tanya Via. Kupikir dia bertanya lebih kepada meminta validasi atas pikirannya.

“Iya. Nggak ada yang berhak untuk menghakimi atau menuduh. Namanya kita hidup bersosial, tetap saja ada pihak-pihak yang merasa diri lebih baik. Omongan orang tetap saja nggak bisa kita kontrol.”

Kami diam beberapa saat. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku masih berpikir bagaimana mendapatkan kardus dalam waktu beberapa hari ini. Sampai satu ide melintas dalam pikiranku.

“Kayaknya mendingan aku beli kantong plastik besar saja ya, Via. Nanti semua baju yang nggak masuk tas masukkan ke dalam plastik saja,” kataku meminta validasi atas ide yang muncul.

“Iya, lagian kakak juga tinggalnya di lantai dua. Kebayang nggak ngangkat koper berat. Mana tangganya terjal lagi. Seram, ah. Kalau ada apa-apa gimana?” Via mengingatkan aku pada tangga. Lalu soal perkakas dapurku yang nggak sedikit di rumah kos ini. “Kakak punya peralatan masak yang banyak banget itu, Kak.”

“Piring hadiah deterjen itu untuk kalian saja lah. Aku beli lain saja ntar. Setahun juga bakalan dapat selusin, kok.”

“Yakin, Kak? Itu dua lusin lebih, lho.”

Aku mengangguk. Yakin sekali untuk meninggalkan dua lusin lebih piring untuk mereka. Anggap saja kenangan dariku. Lagipula kalau aku singgah ke sana, aku akan makan di piringku sendiri.

(*) (*) (*)

Aku tidak menyangka sisa hariku hanya tinggal tiga hari lagi. Semua barang sudah terbungkus dalam plastik kresek besar berwarna biru. Kini kamarku dipenuhi denggan semua barang yang siap aku angkut. Tanpa mereka sadari, aku sudah menyicil barang-barang dalam kresek ke kos baru. Aku cukup sadar diri tidak bisa bergantung sepenuhnya pada orang lain.

Meskipun hubungan kami dengan kos sebelah cukup baik, tapi aku enggan meminta bantuan pada penghuni kos sebelah. Rencananya aku akan meminta bantuan untuk mengangkat lemari kecil saja pada mereka. Meskipun sampai sekarang aku tidak yakin pada siapa aku bisa meminta.

Hubunganku dengan mereka tidak dekat. Aku sangat menjaga jarak dengan mahasiswa di kos sebelah. Menurutku, kedekatan dengan mereka hanya akan menimbulkan masalah baru. Dimulai dari urusan asmara dan akan berujung dengan urusan samara. Ah, membayangkan saja aku sudah mual.

Aku menatap jam dinding yang mati, tapi dari angka digital di ponsel aku tahu sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Tidak ada seorangpun anak kos yang menampakkan wajahnya. Mereka belum bangun. Semalaman maraton drakor di kamar Yumna.

Setiap Minggu pagi Pak Abbas dan istrinya ke lapangan Blang Padang ikut jalan sehat. Mereka baru kembali pada pukul sepuluh pagi nanti. Aku memanfaatkan momen sepi ini untuk mengangkut satu persatu kantong plastik berisi pakaian ke kos baru. Tidak jauh dan tidak sulit.

Selesai dua belas plastik, aku singgah di Kedai Kak Roh untuk membeli nasi bungkus enak dan murah. Mak Roih sepertinya tahu aku akan pindah ke rumah Jendela Biru. Dia tidak banyak bertanya, hanya memberi pesan.


nasi bungkus
Nasi gurih yang mudah didapat di warung kopi kecil di Aceh
[Photo: Pexels]

“Kamu jaga diri di situ, ya. Berpakaian yang sopan walaupun kamu tinggalnya di atas. Kamar mandi di bawah, kan?” kata Mak Roh.

“Iya, Mak Roih. Makasih atas pesannya,” kataku meski tidak mengerti tujuannya memperingati aku seperti itu. Aku rasa aku tidak perlu diingatkan hal-hal seperti itu. Aku langsung pulang daripada tersangkut nasihatnya yang semakin panjang dan menceracau kemana-mana nantinya.

Di kos aku melihat Desi duduk di teras sambil menatap kosong ke lapangan volly. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Dua bungkus nasi yang tadinya kubeli untuk diriku sendiri sepertinya memang harus berbagi.

“Desi, cepat sekali bangunnya?” sapaku. Kusodorkan sebungkus nasi untuk Desi. “Belum sarapan, kan?”

“Wah, pas banget Kak Naeva.” Wajah Desi berbinar senang. Kami melanjutkan sarapan berdua tanpa obrolan. Hening.

Posting Komentar