Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Kisah Klasik Sidang

Sudah tahu lulus, kok masih deg-degan menghadapi sidang skripsi? Apa ada perbedaan sidang dulu dan sekarang?

 Bagi mahasiswa tingkat akhir, sidang munaqasyah adalah yang dinanti sekaligus yang dikhawatirkan. Prosesnya sudah jelas seperti apa. Karakter penguji juga sudah tertebak seperti apa. Namun kekhawatiran selalu ada setiap mengingat momen sakral setiap jenjang pendidikan ini. Sebuah kisah klasik tahunan, tapi tetap saja gemetar menghadapinya, asam lambung memikirkannya. Kenapa, sih?


sidang
[Photo: Pexels/Karolina Grabowska]


Sebuah Kisah Klasik dari Masa ke Masa

Ngomongin kisah klasik, apa itu kisah klasik? Sepertinya kata-kata ini sering terdengar, tapi soal makna sering simpang siur. Serandom gosip yang wara wiri di depan mata, terucap di bibir, dan masuk ke telinga. Ianya ada yang nyungsep di pikiran, nggak mau move on dan abadi dalam ingatan. Ada pula yang seperti angin lalu, masuk ke telinga lantas keluar lagi mencari tuan untuk bergosip.

Gosip soal sidang sudah sering terdengar, akhirnya ia bukan lagi berupa gosip tapi kisah klasik. Dalam bahasa Indonesia, kisah klasik merujuk pada cerita yang turun temurun. Umumnya sih cerita dari masa lalu yang diwariskan. Sama seperti kisah sulitnya skripsi dan horornya sidang. Padahal makin ke sini juga makin slow aja. Nggak ada tuh seramnya.

Namanya juga kisah klasik, ceritanya diwariskan tanpa direvisi apalagi dimodifikasi. Jadinya ketakutan masa lalu dan sakralnya sidang skripsi masih menjadi bayang-bayang mengerikan. Semakin dekat dengan waktu sidang, semakin pula ianya merasa horor.

Kisah klasik sidang munaqasyah ini seharusnya nggak menjadi momok yang menakutkan sekarang. Apalagi sidang di masa kini dibuat terbuka, dosennya lucu dan menggemaskan. Nggak jarang dosennya juga penuh rasa kasihan. Nggak lulus sidang? Jarang sekali kejadian. Makanya mahasiswa zaman now pun tanpa segan dan sungkan serta penuh percaya diri juga sudah mempersiapkan selempang dengan nama lengkap gelar, papan bunga, buket, dan kawanannya.

Nah, lho? Bukannya yang ditakuti saat sidang skripsi itu nggak lulus, ya? Tapi kok udah prepare perayaan aja, sih? Terbukti, kisah klasiknya abadi dan euforianya berubah. Level kesakralannya berkurang.

Sidang Munaqasyah, Sengeri Apa?

Bagi anak-anak UIN atau kampus keagamaan Islam lainnya pasti nggak asing dengan istilah sidang munaqasyah. Iya, sidang munaqasyah artinya sidang skripsi. Sama seperti kampus umum lainnya, hanya penyebutannya saja yang berbeda.


sidang munaqasyah
Sidang Nadiatul Virda, mahasiswa prodi KPI STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh
[Photo: Dokumentasi Pribadi]


Sidang munaqasyah merupakan ujian atau sidang akhir yang dilakukan dengan tujuan melakukan evaluasi kemampuan mahasiswa. Istilah ini digunakan untuk kemampuan pembelajaran dalam konteks pendidikan Islam untuk syarat kelulusan dan perolehan gelar sarjana.

Saat saya kuliah, di pertengahan perkuliahan dosen sering sekali mengingatkan, “kejar dulu sidang munaqasyahnya, baru lanjut munakahat.” Maksudnya adalah selesaikan kuliah dulu baru menikah. Itu karena pada zaman saya kuliah banyak yang menikah di saat kuliah pasti kuliahnya keteteran.

Saat usai sidang munaqasyah ada juga dosen senior yang bertanya, “setelah munaqasyah jangan tunda munakahatnya ya, Nak.”

Buat saya yang punya target setelah selesai kuliah sarjana ingin bekerja dulu, berkontribusi untuk pendidikan adik-adik dan bantu keluarga tentu kalimat dan pesan ini agak bikin semriwing. Pasalnya saya juga punya target untuk lanjut pendidikan lebih tinggi waktu itu. Urusan romansa rumah tangga belum kepikiran saking banyaknya orang di dekat saya yang menikah bukan menyelesaikan masalah. Kebanyakan sih menambah kerutan di wajah dan tebakan usia lebih banyak dari aslinya.

Pada masa saya kuliah, sidang munaqasyah juga masih tergolong ngeri-ngeri sedap. Bahkan di tahun saya sidang skripsi, sidang itu sama sakralnya dengan wisuda. Nggak ada yang namanya pembuatan selempang, karena selempang itu kita dapatkan dari pihak kampus jika sudah mencapai prestasi tertentu. Berasa kan sakralnya, untuk dapatin satu helai selempang saja usaha dan perjuangan selama empat tahun itu berat banget.

Nggak ada juga papan bunga apalagi buket dan kado-kadoan dari sirkel pertemanan. Jarang orang yang membuat papan bunga atas nama pribadi meskipun dikirimkan oleh orang terdekat. Pemasangan papan bunga cuma untuk sidang promosi doktor, bukan sarjana atau master. Sekarang ceritanya berbeda, siapapun bisa punya papan bunga. Selama dia pernah berkontribusi untuk temannya, maka teman akan membalas balik dengan servis serupa. Sekali lagi, sidang munaqasyah kekinian sama sekali nggak sakral lagi.

Budaya sidang munaqasyah dari masa ke masa juga mengalami pergeseran. Dari segi pakaian misalnya, banyak sekali pergeseran model dan gaya berpakaian dari dulu hingga sekarang. Banyak foto-foto klasik yang saya temukan di rumah, sidang munaqasyah menggunakan kain jarik dan kebaya putih untuk perempuan dan setelah jas untuk laki-laki. Rambutnya bahkan ada yang disasak tinggi seperti akan menuju ke depan penghulu. Ada juga yang menutup kepalanya dengan selendang.

Pergantian generasi, artinya pergantian tren pakaian sidang. Di masa saya, sidang munaqasyah wajib memakain rok hitam, baju putih polos, dan kerudung putih polos. Waktu itu saya ingat, teman-teman juga berlomba memakai kacamata biar kelihatan intelek. Sekaligus meningkatkan rasa pede karena tidak langsung kontak mata dengan penguji.


gaya formal
Perubahan gaya berpakaian saat sidang juga menjadi bagian dari kisah klasik
[Photo: iStock/Andrear]

Semakin ke sini gaya berpakaiannya semakin berubah. Meskipun masih ditetapkan pakaian hitam putih, ada pula yang sidang dengan menggunakan jas hitam atau jas yang menjadi ciri khas prodi masing-masing. Kalaupun nggak pakai jas, pakaian hitam putihnya tidak lagi klasik seperti gaya sebelumnya. Paling kelihatan sih outfit para cewek. Ada yang memakai pleated skirt, duyung, flare skirt, dan berbagai model rok. Ada yang nekat pakai rok hitam dengan aksen bordir dan bahan beludru ke kampus.

Bajunya nggak kalah rame. Ada yang memakai kemeja model vintage penuh renda. Ada pula yang nekat tidak pakai putih, tapi nyerempet ke warna lain seperti krem dominan kuning atau khaki sangat muda yang cenderung putih.  Begitupun dengan kerudungnya, bukan sekedar putih embos. Ada pula yang memakai jilbab putih bermotif bunga sampai hewan. Dari kerudung eceran murah sampai branded.

Sidang munaqasyah di masa lalu memang ngeri, sih? Kelulusan nggak cuma ditentukan dari bisa selesai skripsi atau tidak, tapi juga memahami isi skripsi yang ditulis secara mendalam. Kekhawatiran orang-orang terdahulu soal sidang memang beralasan, karena lolos dari meja hijau nggak segampang sekarang. Meskipun ada satu dua prodi yang berani tidak meluluskan mahasiswanya di meja sidang.

Jika dibandingkan dengan dua kondisi ini, wajar sekali kisah klasik ngerinya sidang sampai melegenda. Bahkan jika dibandingkan dengan perayaan dulu dan sekarang. Dulu sidang sangat sakral, sekarang? Seolah mahasiswa tahu kalau dirinya sudah lulus. Tak jarang mahasiswa menganggap remeh dengan masuk ruang sidang tanpa bekal sama sekali. Percaya diri saja masuk berbekal kertas kosong dan menampung semua pertanyaan dengan diam.

Mahasiswa beranggapan diam adalah emas ketika sidang. Lebih baik diam tapi diluluskan daripada banyak bicara tapi dibantai dengan berbagai pertanyaan yang menyudutkan. Satu hal yang kebanyakan mahasiswa lupa bahwa sidang bukan bertujuan untuk mencari kesalahan mahasiswa. Akan tetapi untuk memverifikasi proses pengetahuan dan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

Posting Komentar