Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Kode Bencana

Di saat hujan, listrik di Aceh sering padam. Ini bukan masalah sepele. Perbincangan listrik masuk dalam obrolan nostalgia di Jakarta.

 Senin, 17 November 2025, saya bertemu dengan seorang teman lama di Jakarta. Tidak ada rencana, tidak menentukan tempat, tidak ada jam pastinya berapa. Dia hanya menghubungi saya untuk menanyakan agenda Senin malam setelah saya pulang bertugas dari Kemensaintek. Tentu saja, saya langsung iyakan begitu mengetahui jadwalnya sangat padat.

Panggilannya Maya, seorang kakak kelas pada almamater saat kuliah di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Dia menikah dini dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Saya pikir, jika hidupnya senyaman ini, saya pun tidak akan mau berepot ria menjalani kehidupan akhir pekan di jalanan untuk berkumpul bersama keluarga. Akan tetapi, manusia memiliki jalan rezeki dan takdirnya sendiri bukan?


Mall
Ilustrasi mall sebagai tempat pertemuan di ibukota.
[Photo: Pexels/Magda Ehlers]


Makan Malam di Senayan City

Kami berjanji makan malam di Senayan City. Awalnya Kak Maya (begitu saya memanggilnya) berkata akan menjemput ke hotel Amaris Fachruddin Tanah Abang. Saya mengiyakan dan sudah membayangkan nyamannya mengobrol sepanjang perjalanan. Akhirnya saat maghrib Kak Maya mengabarkan tidak bisa menjemput karena kedua mobilnya di rumah plat genap, tidak bisa melewati area saya tinggal. Ah, iya! Jakarta berlaku sistem ganjil genap.

Tujuan penetapan ganjil genap di Jakarta untuk mengurangi kemacetan dan polusi udara. Jalan-jalan utama dibatasi sesuai angka plat kendaraannya. Tanggal ganjil untuk plat ganjil, tanggal genap untuk plat genap. Saya nggak ngeh soal ini.

Selain itu, tujuan lain pemberlakuan ganjil genap untuk mengefektifkan penggunaan moda transportasi umum. Saya nggak yakin menggunakan moda transportasi umum, karena selama di Jakarta saya menumpang taksi online Grab Car dan Go Car. Bukan sok kaya atau punya banyak duit, tapi dalam kondisi yang serba riweuh saya termasuk orang yang nggak mau diribetkan dengan menunggu lama.

Kak Maya mengatakan sudah bergerak dari Bintaro ke Senayan City. Ternyata prediksi malam itu agak bergeser. Meskipun saya bergerak sesuai dengan arahannya, tapi taksi yang saya tunggu lumayan lama. Akhirnya Kak Maya harus menunggu di kawasan lobi utama.

Saya langsung mengenalinya begitu melihat dari dalam mobil yang siap parkir. Kak Maya memakai atasan kemeja biru putih dengan motif sulur. Celana jeans yang dia pakai tampak berkilau baru. Begitu bertemu kami langsung berpelukan. Delapan tahun tidak bertemu, draft cerita dalam kepala pun seperti bingung ingin muncul yang mana dulu.

“Gimana? Terasa beda baunya nggak?” tanya Kak Maya begitu kami masuk ke dalam gedung mall. Kami sempat menjadi tatapan tajam ibu-ibu elit saat tidak fokus malah salah masuk. Kami langsung jalan dan semangat menuju pintu keluar. Berdua kami menabrak pintu sambil nyeletuk, “salah, salah.”

Saya menghirup aroma parfum dalam-dalam. Memang beda aroma mall. Meski tongkrongan saya lebih sering di warung kopi beraroma dominan tembakau dan seduhan kopi Gayo, tapi berada di sini sesekali memang membuat rileks.

Kami langsung naik ke atas melalui lift. Kak Maya ternyata sudah mereservasi meja di Remboelan. “Shella Saukia sering makan sebelah sana, Fa.” Kak Maya juga memberi informasi tentang artis-artis yang sering makan di Remboelan. Dari informasinya, saya jadi tahu seberapa sering Kak Maya makan di sini.

Begitu buku menu tiba dengan gambar yang sudah diedit terang dan cantik. Saya mulai bingung akan memesan apa. Harganya jelas di atas rata-rata standar saya. Namun saya selalu mempersiapkan budget maksimal setiap diundang makan oleh teman. Jangan sampai pesanan membebani orang lain, saya harus punya stok uang.

“Mana yang menurut Kak Maya enak?”. Saya mulai sedikit galau dan sepertinya Kak Maya tahu itu. Mungkin dia juga curiga kalau saya mulai keberatan harganya. Padahal tidak. Pengalaman mengajarkan banyak hal.

“Nasi bakarnya enak. Aku suka ikan, Fa,” katanya. “Fafa kan suka ayam. Coba ayam, deh.”

Saya setuju dan memilih nasi bakar yang varian ayam. Dia juga menyarankan saya untuk mencoba Es Pisang Ijo. Dulu saat mengikuti Ramadhan Writing Challenge bersama ODOP, saya paling kewalahan dengan tantangan Es Pisang Ijo ini.

“Mirip dengan kuah tuhe kita di Aceh kan, Fa? Tapi ini yang jadi istimewa itu sirupnya. Sirupnya cuma ada di Makassar, Fa. Ya, mirip-mirip seperti sirup patung kalau kita di Aceh,” katanya menjelaskan. Seingat saya, Kak Maya pernah tinggal dua atau tiga tahun di Makassar sebelum pindah ke Papua dan sekarang di Jakarta.


es pisang ijo
Es Pisang Ijo [Photo: istock]

Saya percaya. Soal makan, Kak Maya bukan orang yang perhitungan. Rasa soal kualitas dan dia rela mengeluarkan uang berapapun selama itu cocok dengan seleranya. Soal makan, aku dan Kak Maya sebelas dua belas. Bedanya, Kak Maya akan kembali lagi dan memenuhi urusan perut tanpa perhitungan sampai kapanpun. Sementara aku selesai setelah mengobati rasa puas dan penasaran. Aku akan mencari lagi di menu lain, kecuali aku kembali ke sana dan mati pilihan. Aku kembali meski untuk harga yang mahal.

Kami menyelesaikan makan malam dan membatalkan rencana mutar-mutar mall karena anaknya menangis. Anak bungsunya yang masih tiga tahun tantrum. Dia ikutan panik, sampai-sampai dia harus meminta tolong adik bungsunya yang membantu mengamankan anak bungsu Kak Maya untuk membayar.

Aku jadi nggak enak karena ditolak untuk membantu bayarkan. Suaminya masih rapat di kantor. Aku mengajaknya ke hotel dan Kak Maya nggak keberatan. Sambil menunggu taksi online, adik bungsu Kak Maya yang sudah bekerja di Jakarta menenangkan anak bungsu ini. Kami tidak banyak bicara. Diam untuk beberapa lama.

Taksi datang, kami meluncur ke hotel.

Nostalgia Tentang Aceh

Bukan rahasia jika dua orang dari daerah yang sama akan mengobrol tentang kampung halaman dan keluarga masing-masing saat bertemu. Aku dan Kak Maya juga begitu. Kami bercerita tentang cita-cita, keluarga, dan tingkah polah orang Aceh.

Hal paling menyebalkan dan buat Kak Maya dan suaminya sakit kepala adalah soal listrik yang sangat sering padam di Aceh. Padahal Aceh punya suplai sendiri, tapi kok bisa terus padam? Menjawab pertanyaan ini, sering membuatnya sebagai bagian orang penting keluarga PLN brekele.

Suplai listrik di Aceh berasal dari kombinasi pembangkit listrik dari Aceh sendiri. PLTU Nagan Raya yang menggunakan batu bara malah bisa dikatakan sebagai tulang punggung pasokan listrik di Aceh. Lokasinya nggak jauh dari rumah saya di Meulaboh. Bahkan tiga empat kilo saja. Banyak pekerja di sana imigran Cina dan anak-anak Aceh yang pernah kuliah di China. Mereka menyebutnya MPG, singkatan dari Meulaboh Power Generation.

Aceh juga punya suplai listrik dari PLTA Peusangan untuk menambah daya. Ada juga PLTD Krueng Raya yang tugasnya juga memperkuat pasokan daya, terutama untuk daerah tertentu. Di Lhokseumawe, ada Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) Arun yang diharapkan dapat beroperasi penuh.

“Aceh itu rumit, lho, Fa. Dia kan di ujung pulau. Kalau Aceh mati lampu, suplai cadangan cuma balik dari Sumut, tapi di atasnya kan nggak ada lagi. Putus.” Sumatera Utara juga mendapat suplai listrik dari Aceh, terutama sejak adanya PLTU Nagan Raya tiga dan empat yang didominasi oleh pekerja China.

Obrolan kami soal listrik terhenti karena balita Kak Maya sedang berekprimen dengan lemari, bantal, dan buku saya. Lantas kami kembali bercerita soal rencana melanjutkan pendidikan. Kak Maya memutuskan berhenti sampai sarjana, sedangkan saya sudah mempersiapkan ke jenjang lebih tinggi.

“Untuk apa, Fa? Aku di rumah saja. Aku tuh trauma dengan orang-orang sekeliling aku yang berpendidikan tinggi tapi kok lain, ya.” Maksud lain dari ungkapan Kak Maya soal cara berpikir yang tidak lagi merakyat.

Orang Aceh kerap menggunakan kosa kata lain untuk menunjukkan sesuatu yang tidak biasa atau tidak normal. Misalnya saja seperti merujuk orang gila. Orang Aceh kerap menggunakan kalimat ureung nyan laen bacut (orang itu lain sedikit) untuk menghindari bahasa yang menyinggung orang lain. Di kalangan orang Aceh, penggunaan bahasa halus seperti ini sudah tahu sama tahu.

“Kalau Fafa lanjut kuliah kan untuk pembuktian diri, ya,” simpulnya.

Aku membantah dengan berkata, “kewajiban, Kak. Siapa yang mau kuliah dengan biaya sendiri sementara tunjangan dihentikan dan gaji melekat menurun. Aku akan jadi orang paling kere di sirkel dan harus ngebayar UKT yang nggak murah. Kebayang nggak, sih? Aku akan kembali kerja serabutan kayak dulu saat nyelesain sarjana.”

Kami sama-sama diam lagi. Anak Kak Maya sudah terhipnotis dengan tayangan di YouTube. Kami berterimakasih pada kanal Coco Melon yang menyelamatkan nostalgia emak-emak jelang tengah malam.

Hidup Mati PLN Aceh

Pada pukul setengah dua belas, Kak Maya mengabarkan padaku kalau suaminya sudah selesai dan akan tiba di hotel. Ternyata satu jam setengah berlalu, suaminya belum juga tiba. Aku dan suami Kak Maya juga berteman baik, kami suka berdiskusi hal-hal yang bersifat sosial dan akademis. Suaminya pintar dan asyik diajak ngobrol.

Pukul dua dini hari, suaminya tiba. Kak Maya menyuruh ke kamar di lantai dua untuk menjemput barang-barang. Aku mulai gelisah bagaimana mencari alasan pada pihak hotel.

“Di sini bebas saja, Fa. Mau datang non mahram ke kamar nggak masalah. Beda kayak di Aceh,” kata Kak Maya. Seolah bisa membaca isi kepalaku.

Aku tertawa kaku, “baru saja aku mikir. Bagaimana Bang Hendra bisa masuk ntar. Apa perlu aku jemput ke lobi?”

“Nggak. Aman mah kalau di Jakarta.”

Suami Kak Maya tiba di kamarku yang sempit. Komentar pertamanya sangat merakyat, “abang jadi ingat saat dulu tugas dinas selalu nginap di hotel begini. Kamarnya kecil, tapi yang penting bisa tidur nyenyak.”

Aku tertawa. Kami berbagi kabar. Kak Maya melapor tingkah anaknya, dan kami akhirnya bercerita tentang hidup mati PLN Aceh. Aku lebih banyak menjadi pendengar setia. Dari perbincangan malam ini, aku menyadari diri yang sudah dewasa. Tidak suka berdebat lagi, tidak suka nyeletuk kasih saran, dan saya lebih banyak mendengarkan orang lain bicara.

“Beban, lho, Fa. Itu daerah kita, lho. Bisa mati lampu selama itu. Dua hari tanpa listrik itu nggak mudah di era sekarang. Semuanya mati. Ekonomi, komunikasi, dan orang lapangan yang memperbaiki kerusakan juga,” cerita suami Kak Maya.

Saya baru sadar jika beberapa hari ini susah terkoneksi dengan keluarga karena listrik mati. Perkara listrik padam memang sudah menjadi bagian dari kehidupan orang Aceh. Orang Aceh mengomel karena kondisi hidup mati PLN seperti obrolan anak muda jatuh cinta saja. Sampai akhirnya suami Kak Maya mengatakan bahwa dalam masa pemadam listrik dan listrik tidak stabil di Aceh, dia ikut tertekan dengan kondisi.


suplai listrik Aceh
Ilustrasi tower listrik. [Photo: Pexels/Bret Sayles]

“Terkadang yang berat dihadapi itu bukan orang lain, Fa. Orang-orang dari keluarga kita sendiri yang menyudutkan kita dengan opini asal. Memangnya nyalakan listrik di mesin itu seperti nyolokin cok ke saklar? Langsung tap dan udep (menyala)?”

Saya akui apa yang dikatakan itu benar. Maka saya memilih mengangguk tanpa berkomentar. Saya paham, posisi suami Kak Maya bercerita bukan ingin menjelaskan cara kerja atau meminta pendapat. Beliau hanya ingin ada orang yang paham situasinya dan mendengarkan.

Bagi mereka, saya adalah orang yang tinggal di Aceh dan mengerti situasi. Saya juga berada di posisi yang seharusnya netral. Terpenting dari segalanya, saya tidak pernah menghujat PLN baik di kolom komentar konten media sosial atau di media sosial saya sendiri.

“Ini dalam beberapa hari ke depan pasti akan ribut lagi, Fa. Yakin abang,” katanya. Di Aceh, kami menyapa kata abang dan kakak serta adik untuk menunjukkan status usia. Sapaan di belakang nama ini bentuk sopan santun yang diturun temurunkan. Di Aceh Besar, sapaan aduen (abang) atau Cut Kak (kakak) juga sering digunakan terlebih untuk menyapa orang baru dikenal atau sapaan bagi orang yang tidak dekat saat berkomunikasi.

Kode dari Hujan Turun

“Abang kok yakin kali ada ribut-ribut?” tanya saya. Saya membayangkan demo besar masyarakat Aceh menuntut pemerataan dan konsistensi PLN untuk menjaga suplai listrik. Itu yang selama ini dikeluhkan rakyat Aceh.

“Sudah beberapa hari ini kan hujan turun deras. Sudah pasti kalau hujan terus menerus, listrik ikutan padam. Ada trafo yang bermasalah. Ada tiang listrik yang tumbang. Macam-macam lah perkara di lapangan.”

Pemadaman listrik secara otomatis sering sekali terjadi. Apalagi curah hujan di Aceh sering tinggi. Sekalinya hujan bisa lebat dan begitu guntur dan petir menerangi alam sedetik, listrik langsung padam. Tidak banyak orang yang mau repot mencari tahu perkara listrik padam saat hujan. Pengguna listrik hanya tahu mereka kegelapan dan tidak mungkin bertahan dalam gelap saat hujan lebat.

Padahal alasan pemadaman listrik bisa jadi karena ada pohon tumbang mengenai kabel, gardu listrik terendam air, jaringan listrik rusak karena longsor, atau petir menyambar jaringan. Pemadaman dilakukan karena faktor kesalamatan akibat gangguan teknis di lapangan.

Setelah mereka pulang, saya ingat Mak di Aceh. Apa kabar mereka? Sebuah rasa tidak enak menyusup. Saya mengirim pesan untuk Mak. Bertanya kabar dan situasi Aceh. Berharap ada kabar tentang listrik padam yang membuat geger kantor PLN pusat seperti cerita suami Kak Maya.

“Hujan lebat sejak semalam tidak berhenti-henti. Ngeri sekali. Kebayang banjir bandang dulu. Airnya turun di jalan bergelombang-gelombang,” ketik Mak pada pesan Whatsapp.

Kami tinggal di Paya Tumpi Baru, daerah yang mulai padat dengan perumahan dan termasuk desa yang berkembang. Bagi sebagian besar orang Aceh Tengah, Paya Tumpi Baru dianggap sebagai kota. Bagi kami yang bertumbuh di sana, Paya Tumpi Baru adalah desa swasembada yang memiliki akses mudah ke kota dan berada di tepi jalan lintas kabupaten.

Pada medio Mei 2020, saat Covid-19 melanda Indonesia, Paya Tumpi Baru juga mendapat musibah banjir bandang. Rumah Mak yang semi panggung menjadi jalur air. Sebagian dapur diseret air, perlengkapan elektronik tenggelam lumpur. Pustaka mini saya ikut menjadi korban. Koleksi Harry Potter saya dari berbagai negara juga ikut lenyap berenang bersama banjir. Dapur kami tertimbun tanah bercampur pasir setinggi bahu orang dewasa. Butuh seminggu dengan sekelompok relawan gotong royong untuk mengangkut dan membersihkan dapur kami dari lumpur yang mengisi dapur.

Jika kondisi yang diceritakan Mak terus belanjur, bukan tak mungkin banjir bandang akan terjadi lagi.

Posting Komentar