Medio
Mei 2025, perjalanan hidup saya diwarnai semangat masa muda dengan pengalaman
backpacker ke Malaysia yang sudah lama tidak saya lakukan. Saat
kuliah di Beijing, setidaknya setahun ada sekitar dua sampai empat kali saya singgah di Kuala Lumpur untuk traveling. The
real traveling, karena saya menjelajahi tempat tak biasa. Bukan destinasi touristy
yang banyak dikunjungi pelancong mancanegara termasuk Indonesia.
Pengalaman
backpacker ke Malaysia tahun ini terasa berbeda karena diselipi agenda
perjalanan dinas saat rupiah anjlok. Namanya saja perjalanan dinas, tapi sebenarnya yang keluar seluruhnya uang pribadi.
Mulai dari pembelian tiket pesawat sampai makan. Nah, kebayang bagaimana
nekatnya saya dan teman-teman saat mengambil keputusan ini, kan?
![]() |
Perjalanan dengan moda udara [Photo: Pexels] |
Belum
lagi ketidapercayaan segelintir orang bahwa kami menggunakan uang pribadi tanpa
melibatkan uang negara dalam perjalanan dinas kali ini. Saat memutuskan untuk
berangkat, kata yang terlintas di dalam kepala hanya kata bek pikee sapeu (jangan
pikir apapun). Demi prodi, demi masa depan mahasiswa KPI. Setidaknya, saya
sudah melakukan sesuatu untuk prodi saya. Begitu isi kepala sederhana saya.
Rencana Penjajakan Kerjasama
Selama
bulan Mei, saya memang memutuskan bolak balik Banda Aceh-Meulaboh seminggu
sekali. Apalagi di bulan Mei tahun 2025 ini tanggal merahnya banyak. Beberapa
teman memutuskan mengajar daring, tapi saya tidak. Teror akreditasi masih
membuat tak nyenyak tidur, pulang pergi adalah solusi untuk tetap bisa berperan
tanpa baperan.
Saat
kembali ke Meulaboh pada medio Mei, badan saya terasa tak nyaman. Keputusan
setelah memeriksa diri ke dokter, saya memang harus mulai diet putih telur
untuk menjaga kondisi tubuh agar mudah bergerak dan napas tidak sesak. Tinggal
di kawasan Alpen mempersempit akses untuk membeli telur grosir. Nah, saat saya
menemukan toko kelontong yang menjual telur grosir, saat itu pula telepon dari
Kaprodi Tadris Bahasa Inggris (TBI) masuk.
Faiza
menguhubungi saya dan menjelaskan rencana penjajakan kerjasama ke Terengganu
Malaysia. Sebelumnya Faiza memang mengajak saya untuk menelusuri program doktor
di kampus tersebut. Saya juga pernah mendengar kalau untuk bidang pendidikan di
Universiti Sultan Zainal Abidin (UNISZA) Terengganu lumayan recommended. Hanya
saja, saya tidak tahu bagaimana dengan jurnalistik atau komunikasi. Setahu saya
tidak begitu menarik.
Faiza
meyakinkan saya bahwa penjajakan ini untuk peluang prodi berkembang. Apalagi
sejauh ini Jurusan Dakwah dan Komunikasi Islam (JDKI) belum ada pengabdian
masyarakat berbasis internasional. Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) apalagi. Saya pun mulai menggalau untuk lanjut atau
langsung say no. Soalnya, untuk berangkat hanya dibekali Surat Tugas
(ST), tanpa ditanggung biaya perjalanan dinas alias bayar sendiri.
Sambil
berpikir apa yang harus saya putuskan, saya menghubungi suami di Banda Aceh.
Menanyakan pendapat sekaligus izinnya. Jawabannya cukup singkat, “terserah.”
Jawaban
terserah memiliki dua makna, antara boleh dan tidak. Namun jawaban ini paling
sulit untuk ditindaklanjuti. Jadi, saya memutuskan untuk menunda jawaban. Hati
saya tidak tenang, lantas menghubungi teman yang menjabat sebagai sekretaris
jurusan atau setingkat wakil dekan. Ternyata Marisa juga tidak tahu menahu soal
ini.
Pada
Kamis pagi, sepertinya mereka sudah bertemu. Sementara saya memutuskan untuk
beristirahat di rumah. Badan rasanya remuk dan tidak bisa bergerak. Untuk
bernapas saja rasanya susah sekali. Tiba-tiba saja kaprodi KPI menanyakan saya
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat paspor.
Saya
lega sedikit karena ada perwakilan. Saya mulai memutuskan untuk tidak ikut.
Malamnya sekretaris Magister Studi Islam (MSI), Nina, mengirim pesan via
Whatapp untuk saya. Dia memastikan kalau saya juga ikut ke Terengganu. Ntah
kenapa, sebaris kalimat Nina selalu berhasil mengubah keputusan saya.
Malam
itu saya memutuskan ikut ke Terengganu dan mengonfirmasi kepada Marisa. Dibantu
oleh Marisa, malam itu juga kami membeli tiket. Perasaan saya sangat kuat kalau
kaprodi KPI besar kemungkinan tidak bisa ikut. Benar saja, tengah malam dia mengonfirmasi
keberangkatan saya. Kalau saya tidak bisa ikut, maka dia akan mencari cara
untuk membuat paspor.
Saya
hanya membalas dengan beberapa kata, “sudah beli tiket pesawat.”
Keputusan Tengah Malam
Keputusan
tengan malam bukan saja sekedar ikut, masuk grup, beli tiket. Ternyata ada
program yang akan dilaksanakan di sana. Termasuk mencari peluang melanjutkan
pendidikan ke negeri jiran. Saya yang tidak pernah punya target untuk kuliah di
sana tidak melakukan apa-apa.
Saya
lebih fokus pada grup yang anggotanya berjumlah delapan orang. Di sana juga
dibahas soal pakaian yang akan kami gunakan untuk hari puncak acara, yaitu hari
penandatanganan MoU dengan kampus UNISZA. Kain pucok rebung dan baju kuning.
Haduh, saya nggak punya!
![]() |
Dress code Aceh untuk penandatangan Letter of Invitation (LoI) di UNISZA [Photo: Khuzaimi] |
Malam
itu saya mulai berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk mendapatkannya. Pinjam
memang cara paling gampang, tapi sama siapa? Mengingat body teman-teman saya
masih di level stabil sedangkan saya merasa menjadi makhluk Tuhan yang paling
gendut di kampus saat ini.
Keputusannya
adalah membeli kain tersebut begitu tiba di Banda Aceh. Lantas saya membongkar
lemari dan mencari baju kuning meski yakin tidak ada baju kuning di sana. Saya
paling nggak suka kuning, apalagi kuning mustard yang pekat dan mentereng. Duh,
mana ada.
Malam
itu juga saya dan Marisa membuat keputusan. Saya akan membeli kain pucuk rebung
di Banda Aceh dan baju kuning kami cari di Meulaboh. Kebetulan Marisa juga
merasa baju kuningnya kurang kuning, tapi lebih dekat ke teracotta. Jadi,
memang harus beli baru biar matching dan maksimal.
Sat Set H-2
Setelah
membahas masalah baju apa dan harganya berapa, saya memutuskan untuk tidur demi
kesehatan yang lebih baik. Malamnya Marisa bergadang di Agoda membeli tiket.
Lantas kami bersepakat untuk bertemu di kota untuk mencari blus, tunik, atau
kemeja kuning mustard.
Kami
membuat janji temu di Apon Kupi sambil menunggu Marisa melakukan bimbingan
skripsi dengan mahasiswanya. Saya menunggu ojek daring yang datangnya satu jam
setelah pemesanan. Itu pun ada drama antara admin dan driver. Selaku
wanita dewasa yang sudah bersuami, saya tentu lebih nyaman jika dibonceng oleh driver
cewek. Saya sampaikan ini pada admin.
Ternyata
admin sudah mengirim driver cowok dan cewek sekaligus. Kasihan si bapak
yang cowok, tapi mau bagaimana lagi. Saya juga harus memilih driver cewek
demi kenyamanan. Tiba di Apon Kupi dengan tarif Rp 20 ribu, kami ngopi dulu.
Lanjut makan nasi soto yang dijual di Bos Sop samping warkop. Lalu menunggu
waktu Jumat usai. Tujuannya berlanjut ke toko baju dan toko kerudung.
Usai
shalat Dhuhur di Kuta Padang, kami mulai bergerak ke toko baju. Ternyata masih
banyak toko baju ala butik yang belum buka. Singgah sebentar beli kerudung
warna mustard, lalu lanjut ke toko lainnya. Saya juga berniat mencari kerudung
untuk teman saya di Kuala Lumpur sebagai oleh-oleh.
Di
toko baju yang kami rencanakan, tidak ada warna baju yang sesuai keinginan. Ada
satu kerudung yang membuat saya memutuskan untuk membeli di sana. Warna ungu
pastel yang menurut saya sesuai dengan karakter teman saya di Kuala Lumpur.
Niatnya memang beli kerudung, tapi tergoda juga dengan skincare dan
kosmetik lainnya. Apalagi ada produk baru dari satu brand lokal yang
menurut saya lumayan bagus.
Baju
kuning mustard saya dapatkan di toko pakaian lain. Modelnya beragam, tapi tidak
ada yang pas dengan keinginan. Ada yang bahannya cocok, tapi modelnya nggak
cocok. Ada yang pas bahan dan model, tapi tidak muat. Sungguh dilema sekali
untuk ukuran badan plus size.
Saat
sudah memutuskan untuk membeli tunik panjang seharga Rp 120 ribu, di perjalanan
keluar saya melihat warna mustard yang sesuai dengan yang dimaksud. Modelnya
kemeja dan lebih pendek dari tunik yang saya beli sebelumnya. Kasir yang
mengizinkan untuk tukar, apalagi harganya lebih murah Rp 10 ribu.
Sayangnya,
kesempurnaan itu nggak pernah ada. Ternyata ada bekas lem memanjang dua garis
di bagian lengan. Baju itu masuk dalam katagori defect. Oalah, tapi
tidak masalah. Kita bisa bereskan dengan mencucinya juga. Karena tidak yakin
akan menemukan baju warna mustard di Banda Aceh, saya memutuskan untuk membeli
baju tersebut meskipun defect.
Kembali ke Banda Aceh
Rencana
selanjutnya kembali ke Banda Aceh. Saya menumpang Marisa. Karena kegalauan dan
beragam perasaan, kami langsung berangkat saja setelah packing. Saya
membereskan rumah sedikit, packing barang yang dibutuhkan, mengecek ulang apa yang penting, lalu berangkat.
Perjalanan
sudah lebih dari setengah jalan saat Marisa menyadari bahwa uang ringgitnya
ketinggalan di rumah Meulaboh. Padahal jumlah uangnya bisa digunakan untuk
tiket bus dan beli minum. Saat itu saya berkata pada Marisa, “untungnya
pasporku di Banda Aceh.”
Saat
itu pula Marisa baru ingat dia lupa membawa paspor. Paspor Marisa ketinggalan
di rumah. Katanya sengaja diselipkan di cermin agar terlihat dan terbawa serta
dalam tas. Perjalanan tidak mungkin mundur. Harus terus berlanjut.
![]() |
Dalam kondisi terburu-buru, hal terpenting seringkali tercecer. [Photo: Pexels] |
Kami
menghubungi Nina untuk singgah ke rumah. Nina juga tidak keberatan. Solusinya
kunci rumah dikirim lewat armada Hi-Ace yang biasa kami tumpangi. Nina juga
bersedia mengambil kunci ke loket setiba di Meulaboh. Masalah pertama selesai.
Masalah
kedua, kami tiba maghrib. Saya terbiasa ke loket melalui jalur Lampeunerut.
Ternyata Marisa tidak jalur itu, akhirnya kami menggunakan Google Maps untuk
mencari loket. Si Google menyesatkan kami ke lorong sempit, buntu, dan gelap.
Hampir saja kami tidak bisa keluar dan terjebak di sana.
Setiba
di loket, kami memberikan kunci dan langsung membayar. Perjalanan berlanjut ke
Peunayong. Kain pucok Reubong siap pakai tidak ada stok.
Kain Pucok Rebung
Seharusnya
masalah selesai setelah saya tiba di Banda Aceh. Ternyata tidak. Prediksi kain
Pucok Rebong yang harganya sekitar Rp 250 ribuan ini ternyata meningkat
mendekati angka Rp 300an. Di saat kepepet dan butuh, terkadang kita tidak
peduli pada harga. Begitu posisi saya malam itu. Lagipula kami sudah sangat
capek sekali, tidak mungkin berputar-putar mencari kain lainnya lagi.
Di
dalam toko, mata saya malah jatuh cinta pada kain dengan motif pintu Aceh.
Cantik sekali. Motif ini sudah siap pakai, tinggal lilit dan rekat. Saya
tergoda untuk membeli keduanya. Untungnya Marisa mengingatkan kalau kain ini
tidak selalu dipakai. Setahun sekali, itu pun kalau dress code upacara
masih pakaian adat.
Untungnya
keinginan saya masih bisa dikontrol oleh logika. Saya sudah berencana untuk
menempah kain Kerawang Gayo dengan motif emun beriring. Harganya beda
tipis dengan yang dijual jadi, tapi dengan kualitas yang lebih baik. Saya
mundur teratur, hanya membeli kain Pucok Rebung.
Malamnya
saya menghubungi semua penjahit yang di sekitar kampung untuk mengubah kain
menjadi rok lilit siap pakai. Ternyata tidak mudah. Ada yang bersedia, tapi
baru mulai bekerja hari Senin. Ada yang punya waktu, tapi tidak bisa
mengerjakan. Urusan pakaian ini memang terlihat gampang dikerjakan, ternyata
tidak.
Saya
diantar oleh suami untuk mencari tukang jahit yang bisa mengerjakan rok ini ke
Samahani. Saya pikir, saya sudah membuat keputusan. Soal harga, sudahlah. Bek
pikee (jangan pikir) terlalu banyak. Terpenting jadi dulu roknya agar
gampang digunakan di saat acara. Pasang karet, pasang perekat atau tali.
Misi
selanjutnya masih panjang, mencari tunik dan kerudung warna mustard. Nggak
tanggung, kami langsung ke Pasar Aceh. Saat kaki melangkah ke teras Pasar Aceh,
mata langsung menangkap satu manikin yang memakai tunik dengan potongan formal
warna mustard.
Manikin
itu terpajang di pojokan dengan debu tebal dan sarang laba-laba. Bajunya kotor
bahkan sudah berubah warna dihajar cuaca. Saya masuk ke dalam, tapi tetap tidak
ada baju yang sesuai dengan keinginan hati. Selama mencari, saya memang
langsung membuat keputusan. Bulan depan, saya akan jahit baju kuning yang lebih
formal dan sesuai untuk acara resmi.
Saat
memutuskan berhenti mencari, saya berhenti di toko kerudung. Bermodal kemeja
mustard yang terbeli di Meulaboh, saya membeli kerudung segi empat. Pas sesuai
dengan keinginan. Seperti diproduksi dari kain yang sama. Saya menyerah mencari
baju kuning mustard, tapi masih berusaha ke satu toko lagi. Ternyata di sana
juga tidak ada baju kuning mustard. Sebagai bentuk hadiah untuk diri sendiri,
saya membeli tunik hitam dengan bahan glossy. Saat dipakai, tunik itu malah seperti
daster ngatung di badan saya. It’s okay, masih bisa dipermak.
Kata
Mereka: Happy Holiday
Satu
hari sebelum keberangkatan, saya mengemas dan mempersiapkan segalanya. Mulai
dari menyetrika pakaian, packing ke dalam koper, dan memastikan jika
paspor masuk ke dalam travel organizer saya.
Satu
hari sebelum keberangkatan banyak pesan masuk ke Whatapp. Apalagi kalau bukan
mengucapkan happy holiday Ada pula yang
bertanya siapa yang menanggung biaya keberangkatan.
Saat
saya katakan kami menanggung biaya sendiri, banyak juga yang tidak percaya.
Apalagi itu jumlah yang tidak sedikit, mana mungkin ada yang mau membayar
dengan uang pribadi. Sayangnya memang tidak ditanggung oleh kampus sama sekali.
Kami BAYAR SENDIRI.
Saya
pun tidak yakin jika perjalanan kali ini memang happy. Mengingat H-1
keberangkatan saja saya masih flu dan batuk. Sesekali demam juga menyertai. Namun
semua ucapan happy holiday itu saya aminkan sebagai doa baik untuk hari
jadi saya yang mendekati kepala empat.
Hari Lahir dan Keberangkatan
Momen
paling baper buat peran seorang ibu adalah saat anak-anak nggak rela melepas ibunya melakukan tugas dinas. Selama dua hari
di Banda Aceh saya terus menerus mengatakan akan ke Malaysia untuk tugas dinas.
Anak-anak saya mengerti, tapi reaksinya berbeda.
Pada
anak pertama yang berusia tujuh tahun saya mengatakan kalau tugas saya besar.
Saya tidak mungkin mengajaknya karena dia belum punya paspor dan si abang belum
bisa bahasa Inggris.
“Kalau
mau ikutan, belajar bahasa Inggris dulu. Umur sebelas tahun ntar kita buatkan
paspor, baru boleh ikut,” kata saya pada anak pertama yang dadanya sudah naik
turun menahan tangis. Dia menerima meski tidak sepenuhnya mau mengakui.
Dia
menyampaikan ini pada aunty-nya. Adik ipar saya lantas mengonfirmasi kepada
saya tentang cerita mereka pagi ini. Ummi mau ke Malaysia dan dia akan diajak
pada usia sebelas tahun setelah punya paspor dan bisa bahasa Inggris. Saya
anggap anak pertama sudah menerima.
Giliran
anak kedua. Dia menerima semua penjelasan. Saya memintanya mengulang apa yang
akan saya lakukan. Dia bisa mengulang kalau ummi akan ke Malaysia, adik tidak
ikut karena belum punya paspor.
Saat
koper sudah masuk ke mobil. Si kecil menangis minta ikut. Saya tegaskan sekali
lagi, “adik nggak bisa ikut karena belum punya paspor.”
“Adik
ikut naik mobil Abi,” katanya sambil menangis. Saya terlalu lamban memikir
maksudnya. Padahal maksudnya adalah dia akan mengantar dengan menumpang mobil
ayahnya. Untungnya ayahnya lebih peka dan cepat tanggap. Si adik ikut mengantar
ke bandara.
Sepanjang
perjalanan menuju ke bandara saya terus mengingatkan diri sendiri kalau ini
adalah momen merayakan ulang tahun. Keberangkatan saya untuk memberi hadiah
ulang tahun untuk diri sendiri.
Tabungan Setahun
Tabungan
selama setahun menjadi modal untuk keberangkatan. Tidak menahan untuk makan,
tapi menahan untuk keinginan berbelanja apa yang tidak penting. Saat saya
mengingat soal sepatu, saya mengingatkan diri kalau sepatu saya masih banyak
dan layak pakai.
![]() |
Pastikan tidak menahan untuk hal-hal urgen saat traveling [Photo: Pexels] |
Saya
hanya mengingat satu dompet sejak sepuluh tahun silam. Dompet warna red wine
di Charles and Keith. Kalau memang sempat, saya ingin membeli dompet itu
sebagai hadiah untuk diri sendiri selama setahun menabung. Kalaupun tidak
sempat terbeli tidak masalah. Insyaallah, masih ada waktu dan kesempatan
lainnya.
Perjalanan
Dinas Bek Pikee
Meski
perjalanan dinas dengan konsep backpacker, urusan perut saya usahakan tidak
asal masuk. Konsepnya tetap ala tim turis berduit. Nggak foya-foya, tapi layak.
Bagi saya urusan perut lebih penting daripada urusan jalan. Kalau perut aman,
perjalanan juga akan nyaman.
Dibandingkan
dengan keheranan saya dengan kurs rupiah yang anjlok, saya lebih merasa terkaget
dengan perjalanan dinas bek pikee (jangan pikirkan) yang kami jalani.
Terpenting jalan dan jalani saja. Tidak lebih dari itu.
Kehidupan
backpacker di perjalanan dinas ini memang terwujud dan terlihat dari
perjalanan kami. Dari Kuala Lumpur ke Terengganu kami menumpang bus selama
delapan jam perjalanan. Turun di halte Rumah Sakit UNISZA, lalu jalan kaki ke
Masjid UNISZA. Lesehan dan rebahan sejenak di sana menunggu jemputan.
Kami
bertemu orang baik yang merupakan para profesor dari Universiti Malaysia
Terengganu (UMT) di sana. Kami ditraktir sarapan dengan menu suka hati. Namun
kami masih cukup tahu diri tidak pesan sesuka hati. Setelah perut kenyang,
perjalanan berlanjut ke homestay yang juga dipesankan oleh kolega
pimpinan lainnya.
Kami
tinggal di Nawwal Homestay, rumah yang dijadikan homestay oleh
pemiliknya. Rumahnya nyaman dan bersih. Bahkan beberapa kebutuhan dapur sudah
tersedia di dapur. Lengkap dengan mesin cuci dan deterjennya.
Pada
dini hari kami mencuci pakaian di homestay. Berharap tidak ada pakaian
kotor yang dibawa pulang ke Banda Aceh. Untungnya pakaian kami kering di pagi
hari. Di saat Faiza mencuci pakaian di malam hari, saya membeli tiket.
Rupiah
Anjlok: No Healing, No Envy
Urusan
perut bisa dikatakan kami cukup bahagia. Selain tidak menahan-nahan diri untuk
urusan makan, budaya peumulia jamee (memuliakan tamu) di Terengganu
masih sangat tinggi. Kami terus menerus dijamu untuk makan. Meskipun lidah saya
rasanya nggak ada rasa lagi, tapi makanan enak memang nggak bisa bohong. Saya
tetap merasa kalau makan itu enak.
Selama
di Malaysia ada beberapa kali perubahan kurs yang saya perhatikan. Saat saya menarik melalui ATM, kurs rupiah Rp 3.900 dan esoknya
kurs turun lagi. Di hari keberangkatan kembali ke Indonesia, kurs rupiah malah
anjlok ke angka Rp 4.400. Sedih, tapi ini nyata. Rupiah anjlok, negara
mendekati bangkrut.
Selama
rupiah anjlok, tidak banyak yang bisa rencanakan. Saya nggak fokus membeli
oleh-oleh. No healing, no envy melihat kesenangan orang lain. Saya hanya
membeli sesuai dengan kebutuhan saja. Misalnya saja coklat untuk dimakan
bersama. Bros untuk dibagikan kepada orang-orang dekat. Juga dua kaos oblong
untuk suami yang selalu memberi dukungan.
Sebagai
bentuk hadiah bagi diri sendiri, saya membeli selembar pashmina khas Malaysia
yang licin dan bermotif. Lumayan untuk nge-zoom. Lagipula saya sudah jatuh
cinta pada pandangan pertama pada pashmina itu.
Perjadin Backpacker
Perjadin
backpacker memang kedengaran aneh dan asing, tapi kami sudah
melakukannya. Sayangnya tidak semua orang mau mengikuti perjadin cara ini.
Bukan saja soal perjalanannya yang kurang nyaman, tapi banyak faktor lain yang
harus dipertimbangkan.
Sebelum
melakukan perjadin backpacker, kita sudah harus mengkalkulasi dan
membuat perencanaan yang matang. Dimulai dengan jumlah hari yang akan dihabiskan
di sana, perkiraan biaya yang akan dikeluarkan, orang-orang yang akan kita
hubungi di sana, termasuk transpor lokal yang akan kita pilih untuk mempermudah
perjalanan kita.
Sebagai
bagian dari perjadin backpacker, perkirakan juga kekuatan dan kelemahan
kita di dalam tim. Apakah akan helpful atau cuma jadi beban orang lain
saja. Pastikan kalau kita nggak datang untuk menyusahkan tim. Jadi persiapkan
segala hal yang kita butuhkan dari sebelum berangkat, terutama kebutuhan
pribadi yang nggak mungkin dibagi.
Jangan
malu bertanya pada ketua tim atau penanggung jawab tim tentang bawaan yang
perlu diangkut. Jangan sampai yang lain Cuma bawa ransel, tapi kita malah
angkut bagasi, ya. Siapa tahu perjalanannya berpacu dengan waktu. Jangan sampai
kita berpacu dengan melodi.
Ada
sisi positif ikut perjadin backpacker, yaitu kekompakan dan kedekatan
dengan tim. Jika sebelumnya terasa jauh, setelah backpackeran dan
melewati suka duka bersama jadi lebih dekat. Kita mengenal orang lain setelah
melewati perjalanan bersama, kan?
Kesimpulan:
Who’s Next?
Bagi saya, perjadin ala backpacker atau
normal sama saja. Jika badan fit, perjadin backpacker nggak masalah.
Meskipun yang namanya perjadin kedengarannya memang sudah ditanggung oleh
negara, tapi nggak selalu kan? Apalagi negara lagi nggak baik-baik saja. Saya,
Nina, dan Marisa bisa menikmati dan melewati perjadin backpacker ini.
Selanjutnya, who’s next?
Tidak semua orang siap menjalani kehidupan jalanan yang penuh drama selama menjalani tugas dinas. Umumnya perjalanan dinas memang dilewati dengan tenang, nyaman, dan terencana. Apalagi dilengkapi dengan uang saku dan tiket sudah ditanggung. Nggak perlu hemat makan dan hemat pemakaian. Syukur kalau dapat untung, bukan buntung.
Pengalaman backpacker ke Malaysia tahun 2025 ini bukan soal saya, tapi soal kita. Saat berangkat kondisi saya tidak fit, saat kembali semakin parah. Saya butuh istirahat lebih lama. Nah, kalau kalian di posisi ini, apakah kalian akan puas?
Posting Komentar