Hampir 16 tahun menjadi tenaga pendidik di universitas, saya nggak begitu perhatian dengan perubahan karakter mahasiswa. Namun, saya tahu ada yang berubah dari karakter dan adab mereka. Adab tidak lagi di atas ilmu, tapi kebanyakan mereka sudah bangga dengan ilmu secuil yang dianggap melampui gurunya. Apa yang salah? Dilema medsos atau pendidikan karakter yang tidak lagi baik?
Berawal dari Senyum
Semua
pembahasan ini berawal dari obrolan dengan salah satu rekan sesama dosen. Dia
mengeluhkan perkara etika mahasiswa yang katanya tidak lagi sama dengan masa
dia menjadi mahasiswa. Di masa dia (termasuk saya), guru adalah seseorang yang
dihormati dengan tulus, bukan berakhir sampai lulus.
![]() |
Hubungan guru dan murid [Photo: Pexels] |
Lantas
teman saya bertanya, “apakah selama menjadi dosen masih ada mahasiswa yang
menyapa atau mengingat kakak sebagai dosennya?”
Saya
mengingat-ingat. Ada atau tidak? Sepertinya ada, tapi bukan angkatan muda dan
mereka bukan mahasiswa di kampus yang mengeluarkan Nomor Induk Dosen Nasional(NIDN) sekarang. Justru kalau saya ingat, sampai sekarang hubungan kami masih
sangat baik sekali. Pertemanan kami justru seperti teman nongkrong, bukan
hubungan mahasiswa dan dosen.
Kami
masih slaing chat membahas topik random di luar urusan kuliah dan kerja.
Terkadang berbagi tips. Meski percakapan kami tergolong percakapan anak-anak
Gen Z sekarang, mahasiswa saya ini masih menempati saya sebagai dosennya.
Padahal statusnya kami temenan, lho. Sapaannya terhadap saya masih takzim
dengan panggilan kak, bu, atau miss.
Oh,
iya, ada alasan mengapa saya mendapatkan sapaan yang berbeda-beda. Panggilan Bu
umumnya disapa oleh mahasiswa reguler. Seluruh kelas menyapa saya dengan
panggilan ini. panggilan “Kak” disapa oleh mahasiswa jurnalistik. Mungkin di
mata mereka saya sangat muda sekali. Kemudian sapaan “Miss” digunakan oleh
kelas internasional yang pernah saya ampu.
Pembahasan
soal penghormatan ini terbahas ketika ada mahasiswa yang tidak senyum kepada
teman saya. berawal dari senyum ini pula, pembahasan kami lantas berlanjut ke
topik yang lebih serius.
Adab di Atas Ilmu
“Mahasiswa
sekarang adabnya nggak ada, Kak. Dosennya lewat, bukannya disapa atau bersikap
sopan, tapi malah ngakak dan bercanda dengan lawan jenis nggak karuan. Bukan
mahram, tapi pegang-pegangan tangan. Cubit-cubitan. Sebal lihatnya,” tambah
teman saya lagi.
Saya
tidak membantah. Apa yang dikatakan oleh teman saya juga sering terjadi di
depan mata saya. Bahkan itu terjadi di mahasiswa prodi saya sendiri. belum lagi
pakaiannya yang sangat minim untuk ukuran kampus berbasis agama.
![]() |
Adab itu haruslah di atas ilmu. [Photo: Pexels] |
Pernah
satu hari usai rapat penting. Saya dan rekan dosen keluar dari ruang rapat dan disambut
oleh segerombolan mahasiswi di depan pintu. Ups, maksudnya bukan menyambut
saya. Akan tetapi menyambut kaprodi yang notabene lelaki. Pakaian mereka
lumayan minim. Mereka duduk di tembok depan ruang prodi.
Tidak
ada yang menyapa kami, atau setidaknya turun dari tembok tinggi itu. Ada satu
mahasiswi yang membuat saya terganggu sekali dengan pakaian dan sikapnya.
Wajahnya rupawan, kulitnya menawan. Dia memakai rok jeans 7/8. Saat duduk,
roknya terangkat hingga ke lutut menampilkan betis mulus. Dia menggoyangkan
kedua kakinya seperti main air di tepi kolam. Tidak peduli dosen-dosen yang
keluar dari ruangan melihat mereka dengan perasaan terganggu.
Saat
itu rekan saya nyeletuk, “pelecehan nggak selalu terjadi karena dosennya gatal.
Mahasiswinya juga memancing dan memberi kesempatan. Namanya lelaki, pasti saja
tergoda. Kucing mana yang nggak mau dikasih ikan.”
Kalimat
itu diucapkan dengan nada emosi oleh teman saya. Ada benarnya. Bahkan rekan
saya yang lelaki ini terkadang seperti terhipnotis dengan gaya berpakaian
mereka. Tidak menegur, tidak terganggu, dan tidak pula sadar jika pakaian
mereka sangat minim. Saat kami para dosen perempuan mengingatkan barulah mereka
seperti tersadar, “iya pula, ya. Selama ini saya nggak perhatian.”
Beberapa
kali saya melihat mahasiswi berpakaian terlalu minim. Tidak sesuai dengan outfit
untuk ke kampus. Kalau pakaian itu dipakai tidak ke kampus tentu saja tidak
masalah. Akan tetapi, mereka ke kampus menggunakan rok jeans sebetis, crop
top, rok tutu tipis, bahkan midi dress terawang. Bukan sekedar fashion,
kesopanan juga menjadi bagian dari adab.
Pernah
pula saya menegur mahasiswi yang memakai atasan terlalu pendek. Saat bergerak, badannya
kelihatan karena nggak pakai dalaman sejenis tank top. Saya merapikan
pakaiannya sambil berkata, “apa kamu nggak risih dilihatin cowok-cowok? Cara kita
berpakaian bisa memancing tindak pelecehan, lho.”
Si anak
dengan gampang menjawab, “alah, Bu. Ibu nggak ngerti fashion yang modis lah.”
Saya
kaget dengan jawabannya, tapi masih ingat untuk menjawab dan membalasnya. “Hei,
kalau ibu sudah bergaya kalian nggak berani pun ajak ibu foto. Sesuaikan outfit
sesuai tempatnya.”
Dia?
Mana peduli. Sambil cengengesan langsung berlalu. Sedangkan para dosen
perempuan dibuat resah dan gelisah.
Dilema Media Sosial
Pernah
suatu kali pada jam makan siang kami mengobrol permasalahan yang kami hadapi. Sebagian
mengatakan kalau mereka kurang pembekalan dari rumah. Ada pula yang mengatakan
efek ngekos tanpa pengawasan orang tua. Semuanya setuju kalau media sosial
menjadi dilema.
![]() |
media sosial [Photo: Pexels] |
Cara mereka berpakaian sedikit banyaknya dipengaruhi oleh influencer di media sosial. Para influencer juga nggak segan menampilkan gaya berpakaian ke kampus mereka. Terkadang memang tidak pantas dipakai ke lingkungan pendidikan.
Budaya
posting di media sosial nggak sekedar dokumentasi atau berbagi momen, tapi juga
memberi pengaruh yang umumnya negatif. Soal pakaian misalnya, mahasiswi
menjadikan influencer sebagai tolak ukur untuk bergaya. Apalagi jika dari pihak
kampus sendiri tidak mengeluarkan aturan berpakaian di lingkungan kampus. Mereka
semakin menjadi-jadi.
Pendidikan Karakter
Keluarga
memiliki pengaruh besar untuk membentuk karakter anak. Ini benar. Saya juga
setuju anak-anak yang ngekos tanpa kontrol orang tua juga akan terseret pada
hal-hal yang berbahaya.
Saat
saya ngekos dulu, ada berbagai jenis teman kos yang saya jumpai. Mulai dari
yang sopan banget sampai yang songong banget. Sebagai anak kos, tentu kita
pernah saling berkunjung ke rumah teman dalam berbagai kesempatan dan undangan.
Saat itulah saya melihat berbagai macam pola asuh di keluarga teman. Ada yang
membuat saya cemburu karena menginginkannya, ada yang membuat saya ilfil dan bersyukur
lahir dari orang tua saya.
Pendidikan
karakter pada anak merupakan upaya penanaman nilai luhur yang akan membentuk
karakter dan moral pada anak. Apa yang membuat pendidikan karakter pada anak
penting? Berdasarkan beberapa referensi yang menjadi rujukan, berikut
pentingnya pendidikan karakter untuk anak:
(1). Pembentukan Pondasi Kepribadian
Pondasi
kepribadian dibentuk pada anak usia dini. Pembentukan pondasi kepribadian
penting banget untuk dibentuk sejak usia dini karena ini akan menjadi dasar
sampai anak dewasa. Kepribadian yang positif akan akan mempengaruhi perilaku dan
pola pikir anak hingga dewasa.
(2). Pengembangan Nilai-Nilai Luhur
Nilai-nilai
luhur seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, toleransi, dan rasa hormat mulai
terkikis seiring zaman. Pengembangan nilai-nilai luhur seperti ini harus
diterapkan kembali sejak anak usia dini. Pendidikan karakter juga bertujuan
untuk membentuk sikap jujur, tanggung jawab, disipilin, toleransi, dan rasa
hormat. Dalam hal ini, orang tua adalah kuncinya.
(3). Pencegahan Masalah Sosial
Semua
masalah sosial yang muncul di masyarakat dimulai dengan pendidikan karakter
yang tidak kuat. Kebanyakan masalah sosial yang diakibatkan oleh anak
kebanyakan bersumber dari rumah. Pelaku seringkali berasal dari keluarga yang
bermasalah. Pendidikan karakter yang positif juga untuk pencegahan masalah
sosial.
(4). Mempersiapkan Generasi Penerus
Karakter
yang baik menjadi suri tauladan atau role model untuk generasi penerus. Hakikatnya
anak memang meniru apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Meskipun banyak juga anak
yang memiliki karakter bertolak belakang dengan orangtuanya.
Tugas Pendidik Semakin Berat
Saat
saya kuliah dulu, dosen-dosen mulai mengeluh jika ada satu dua mahasiswa yang
karakternya lumayan menyebalkan sampai meresahkan. Dosen saya dulu yang masih
mengajar sampai sekarang juga mengeluhkan jika semakin hari karakter mahasiswa
semakin parah. Saya pun mengakui apa yang diceritakan oleh dosen saya meski jam
terbang saya belum selama beliau.
![]() |
Guru sebagai pendidik [Photo: Pexels] |
Delapan
tahun mengajar di kampus dengan basis agama Islam yang kuat, saya merasakan
sorotan orang luar terhadap mahasiswa kami juga tajam. Jika ada sedikit
penyimpangan yang terjadi pasti cepat viralnya. Beda dengan kampus tetangga
yang mendapat masalah lebih besar, tapi masih adem ayem saja. Tidak banyak yang
tahu.
Pernah
terjadi kasus asusila antara dosen dan mahasiswa. Motif awalnya suka sama suka.
Setelah si perempuan merasa dirugikan, dia menyebarkan video tak senonoh dan
melaporkan dosennya melakukan pelecehan seksual. Kasus ini ramai di internal
kampus. Tidak banyak orang luar yang tahu. Masyarakat juga memojokkan dosen
yang kegatelan. Ditambah lagi, ini kampus umum. Terdengar biasa saja di kuping
masyarakat.
Di lain
hari, mahasiswi kampus agama ditangkap warga karena pacaran. Katanya mereka
mereka melakukan tindakan asusila di pantai. Apa yang mereka lakukan itu ciuman
di tempat yang agak tertutup. Sialnya, ada yang mereka. Seketika video viral
dan kampus mendapat imbas.
Tindakan
penyelesaian di kedua kampus pun berbeda. Di kampus umum, keduanya masih melenggang
bebas. Baik si dosen atau si mahasiswa yang merasa menjadi korban. Mahasiswa sempat
demo minta kasus ini ditindaklanjuti dan dosennya diharapkan dipecat. Tidak lama
kemudian redam setelah penjelasan diplomatis dari pihak kampus.
Berbeda
penyelesaian dengan kampus agama. Si anak dikeluarkan dengan tidak hormat. Di kampus
pun dia mendapat sanksi sosial yang berat. Hanya tindakan kecil, tapi
pengaruhnya sangat besar untuk masa depan anak.
Lantas
kami berpikir, bahwa menjadi pendidik semakin lama semakin berat. Bukan saja
hal remeh seperti penghormatan dan kesopanan terhadap dosen di kampus. Terkadang
untuk urusan pribadi mereka saja orang tua menyeret kampus untuk menyelesaikan.
Padahal itu bukan ranah yang bisa dimasuki sembarangan oleh orang luar.
Saya pernah mengobrol dengan rekan blogger yang seorang guru. Dia pun menyatakan hal yang sama. Semakin ke sini karakter anak didik semakin tak terkendalikan. Menurutnya lembaga pendidikan nggak bisa berbuat banyak kalau dari keluarga saja pondasinya sudah tidak kuat. Masalah pendidik sudah berat karena kebijakan dari pusat, jangan menambah masalah dari keluarga yang mengirim anaknya ke lembaga pendidikan lagi.
Hm, saya kok setuju, ya? Tugas pendidik di lembaga pendidikan sudah berat. Jangan nambah-nambahin masalah lagi.
Posting Komentar