Dear Dhesy,
Tiba-tiba
malam ini aku teringat pada suratmu yang kau layangkan beberapa hari lalu.
Caramu unik. Tidak melalui secarik kertas, apalagi lewat email. Kau menulisnya
di blog. Persis seperti caraku membalas suratmu saat ini.
Merantau sebagai bagian dari menjalani kehidupan
[Photo: Pexels]
Saat
membaca suratmu, aku tahu apa yang kau rasakan. Aku bisa merasakan sesaknya
dada menahan rasa. Beratnya bahu memikul beban. Bahkan air matamu tak berhenti
menangis. Aku merasakan apa yang kau rasakan. Bahkan aku ikut meneteskan air
mata membacanya. Aku pernah ada di posisi itu.
Al-Baqarah Ayat 286
Well,
Des. Kurasa kau tak asing dengan QS. Al-Baqarah ayat 286, kan? Saat kita kuliah
di Fakultas Dakwah dulu, kurasa betapa seringnya para dosen mengingatkan kita
tentang hidup melalui ayat ini. Mengingat kualitasmu yang tak abal-abal,
kuyakin kau pun pasti tahu ayat itu.
Terjemahannya
begini, “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.
Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa)
atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “wahai Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah.” Wahai Tuhan kami,
janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Enggkau
pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami,
ampunilah kami. Engkaulah pelindung kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah
pelindung kami. Maka, tolonglah kami menghadapi kaum kafir.”
Well,
Des. Abaikan kalimat terakhir yang terkait dengan menghadapi kaum kafir itu.
Meski begitu, mungkin saja hidupmu di
ibukota sana memang ada bayang-bayang mereka. Apapun itu, kamu harus ingat
bahwa Allah mengingat-Mu. Kau hanya sedang disapa untuk diberikan posisi yang
lebih baik.
Ah,
teori itu tentu tak sedang kau butuhkan saat ini. Soal teori begini, bisa kau
baca sendiri dari berbagai tafsir tanpa harus aku menuliskannya, bukan? Aku
hanya perlu membaca dan merenungkan kisahmu. Akan tetapi, aku ingat diriku
sendiri saat di fase titik balikku, Des.
Kemampuan Setiap Orang Istimewa
Setiap
mendapatkan masalah, pasti ada perasaan yang berbeda tentang diri kita. Akan muncul
pertanyaan, “kenapa cobaan yang aku hadapi terlalu berat, Ya Allah?” Padahal jika
kita berpegang pada ayat di atas, Allah pasti menguji kita sebatas kemampuan
kita saja. Namanya ujian, tentu harus kita lewati.
Seseorang
pernah menyampaikan padaku saat di Beijing, “kenapa kamu lantas menyerah hanya
dengan masalah? Menangisi masalah yang kamu hadapi hanya menambah masalah baru.
Selesaikan saja. Menangis nggak akan menyelesaikan masalah. Pikirkan dan lewati
apa yang menjadi bebanmu. Bagaimanapun badai pasti akan berlalu.”
Kemampuan setiap orang istimewa
[Photo: Pexels/Kaboompics]
Waktu
itu aku ingin didengarkan, bukan dinasehati begitu. Apalagi konsep seperti ini
aku sudah tahu. Mengejutkan sekali ketika dia menambahkan lagi, “kamu boleh
menangis. Kalau itu buat kamu lebih baik. Kamu boleh tidak menghadapi masalahmu,
kalau itu membuat luka di hati tidak bisa mengubah kondisi apapun. Sampai kapan?
Kamu harus membatasi dan memberi waktu untuk dirimu larut dalam kesedihan. Kita
nggak tahu sampai kapan Tuhan memberikan hidup untuk kita. Terlalu konyol kalau
hidup disia-siakan dengan larut dalam kesedihan. Apalagi membiarkan hidup dalam
kegalauan.”
Waktu
itu aku tidak merespon apapun. Bagaimana aku bisa merespon, Dhes? Posisiku waktu
itu baru kehilangan Ayah tercinta. Kamu tahu, kan? Aku kehilangan Ayah saat baru
datang ke Beijing. Aku tidak sempat melihat Ayahku untuk terakhir kali, tidak
bisa merasakan sakitnya, bahkan tidak sempat meminta maaf untuk terakhir
kalinya.
Keadaan
itu nggak akan kembali meskipun aku nangis jungkir balik. Kondisi itu aku
dapatkan karena aku sedang diuji dengan persoalan kehidupan di atas rata-rata
orang lain. Aku terlalu istimewa untuk mendapatkan ujian biasa, sehingga Allah
memberi pilihan padaku sebuah masa depan yang aku perjuangkan dan mengambil ayahku
selamanya.
Kemampuan
setiap orang dalam menghadapi istimewa. Tidak ada yang lebih baik dan lebih
buruk. Bagaimanapun kita akan mencari solusi terbaik untuk menghadapi semuanya.
Akumulasi Kesepian
Apa
yang membuatmu menangis, Dhes? Sedikit banyaknya aku bisa merasakan apa yang
kau rasakan. Semua bukan tentang penyesalan, tapi tentang kesepian. Bukan karena
kita sudah merantau belasan tahun, lantas kesepian itu tidak hadir. Dia hadir
dalam wujud lain. Wujud yang seringkali melemahkan kita sebagai hamba.
Ada
kalanya kita dihadapkan dengan glamornya kota perantauan. Di sini kita merasa
beruntung, di lain waktu kita merasa tidak nyaman. Apalagi jika target kita
untuk sukses belum mencapai sesuai keinginan kita. Namun sebenarnya kita sudah
sukses, Dhes. Kita mampu bertahan di tengah keterbatasan yang orang lain belum
tentu mau lakukan dan lewatkan.
Selama
ini kita merasa ramai, bahagia, dan selalu berada bersama teman-teman yang
menyenangkan. Ada kalanya kita merasa cukup dengan mereka. Namun hati kecil
kita menolak. Kita masih tetap sebagai anak yang merindukan nasihat orang tua. Kita
masih menjadi bocah di mata mereka. Kita tetaplah anak yang merindukan rumah.
Beban
yang kita rasakan saat mengingat rumah adalah akumulasi kerinduan yang selama
ini kita tunda mengungkapkannya. Ia bertumpuk menjadi beban batu yang menghalang
setiap langkah. Solusinya adalah pulang, Dhes. Pulanglah, temui orang-orang
yang kau rindukan.
Tidak Ada yang Salah dengan Pulang
Jika
orang bilang kau terlalu cepat untuk pulang, abaikan itu. Tidak ada batas waktu
untuk pulang ke rumah. Setiap anak punya hak untuk pulang kapanpun dia mau. Pintu
rumah akan selalu terbuka. Orang rumah akan selalu menunggu dan menyambutmu
dengan kerinduan.
Tidak
ada waktu yang terlalu cepat untuk pulang. Kepulangan kita nggak harus dinilai
dari sukses atau tidak di mata orang lain. Sukses menurut kita belum tentu di
mata orang lain. Bagiku, kau berani meninggalkan tanah kelahiran menuju ibu
kota saja sebuah kesuksesan. Kau bisa menaklukkan rasa takut, mengimbangi
kesendirian, dan berjuang dengan kedua tanganmu sendiri.
Tidak
ada yang salah dengan pulang, Dhes. Kalau menurutmu sudah waktunya pulang. Pulanglah.
Di sana kau bisa menemukan kehangatan dan kekayaan yang tak pernah kau rasakan selama
di rantau. Pulanglah sebelum terlambat.
Tentang Pergi Lagi
Sebulan
di rumah, mungkin kau akan merasakan kebosanan. Terutama setelah seluruh keinginanmu
saat pulang tercontreng. Akan ada keinginan untuk pergi lagi. Mencari lagi apayang ingin diraih. Begitulah hakikatnya seorang perantau.
Pulang dan pergi bagian dari kehidupan perantau
[Photo: Pexels]
Jika
kelak kau ingin pergi lagi, jangan tahan langkahmu. Bersiaplah untuk pergi
lagi. Raih impianmu, lengkapi cita-citamu. Sekarang atau nanti, kita memang
akan bergerak untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Jangan Bersedih
Jangan
bersedih terlalu lama, Dhes. Jika kau ingin pelampiasan, bukankah kau punya
blog yang bisa kau tumpahkan uneg-unegmu? Kau punya cerita menarik tentang
perjalananmu. Kau bisa menuliskannya di sana. Kau bisa menulis tentang Jakarta
yang tidak orang tahu.
Dari
blog travel and lifestyle kau bisa menemukan kesibukan baru. Kebahagiaan
baru. Juga tempat berlatih kecepatan tangan dan mengelola emosi. Siapa tahu,
kelak kau akan menjadi seorang penulis hebat dan bekerja di Tempo. Atau bahkan
memiliki media sendiri.
Aku
tak sabar membacanya, Dhes.
Posting Komentar