Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Dear, Dhesy!

Kesendirian itu adalah bukanlah cela, melainkan waktu yang diberikan-Nya untukmu. Kesempatan untuk menata hidup kamu. (Merry Riana)

 Dear Dhesy,

Tiba-tiba malam ini aku teringat pada suratmu yang kau layangkan beberapa hari lalu. Caramu unik. Tidak melalui secarik kertas, apalagi lewat email. Kau menulisnya di blog. Persis seperti caraku membalas suratmu saat ini.


keliling dunia
Merantau sebagai bagian dari menjalani kehidupan
[Photo: Pexels]

Saat membaca suratmu, aku tahu apa yang kau rasakan. Aku bisa merasakan sesaknya dada menahan rasa. Beratnya bahu memikul beban. Bahkan air matamu tak berhenti menangis. Aku merasakan apa yang kau rasakan. Bahkan aku ikut meneteskan air mata membacanya. Aku pernah ada di posisi itu.

Al-Baqarah Ayat 286

Well, Des. Kurasa kau tak asing dengan QS. Al-Baqarah ayat 286, kan? Saat kita kuliah di Fakultas Dakwah dulu, kurasa betapa seringnya para dosen mengingatkan kita tentang hidup melalui ayat ini. Mengingat kualitasmu yang tak abal-abal, kuyakin kau pun pasti tahu ayat itu.

Terjemahannya begini, “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya  dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah.” Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Enggkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami. Engkaulah pelindung kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami menghadapi kaum kafir.”

Well, Des. Abaikan kalimat terakhir yang terkait dengan menghadapi kaum kafir itu. Meski begitu, mungkin  saja hidupmu di ibukota sana memang ada bayang-bayang mereka. Apapun itu, kamu harus ingat bahwa Allah mengingat-Mu. Kau hanya sedang disapa untuk diberikan posisi yang lebih baik.

Ah, teori itu tentu tak sedang kau butuhkan saat ini. Soal teori begini, bisa kau baca sendiri dari berbagai tafsir tanpa harus aku menuliskannya, bukan? Aku hanya perlu membaca dan merenungkan kisahmu. Akan tetapi, aku ingat diriku sendiri saat di fase titik balikku, Des.

Kemampuan Setiap Orang Istimewa

Setiap mendapatkan masalah, pasti ada perasaan yang berbeda tentang diri kita. Akan muncul pertanyaan, “kenapa cobaan yang aku hadapi terlalu berat, Ya Allah?” Padahal jika kita berpegang pada ayat di atas, Allah pasti menguji kita sebatas kemampuan kita saja. Namanya ujian, tentu harus kita lewati.

Seseorang pernah menyampaikan padaku saat di Beijing, “kenapa kamu lantas menyerah hanya dengan masalah? Menangisi masalah yang kamu hadapi hanya menambah masalah baru. Selesaikan saja. Menangis nggak akan menyelesaikan masalah. Pikirkan dan lewati apa yang menjadi bebanmu. Bagaimanapun badai pasti akan berlalu.”


kemampuan
Kemampuan setiap orang istimewa
[Photo: Pexels/Kaboompics]

Waktu itu aku ingin didengarkan, bukan dinasehati begitu. Apalagi konsep seperti ini aku sudah tahu. Mengejutkan sekali ketika dia menambahkan lagi, “kamu boleh menangis. Kalau itu buat kamu lebih baik. Kamu boleh tidak menghadapi masalahmu, kalau itu membuat luka di hati tidak bisa mengubah kondisi apapun. Sampai kapan? Kamu harus membatasi dan memberi waktu untuk dirimu larut dalam kesedihan. Kita nggak tahu sampai kapan Tuhan memberikan hidup untuk kita. Terlalu konyol kalau hidup disia-siakan dengan larut dalam kesedihan. Apalagi membiarkan hidup dalam kegalauan.”

Waktu itu aku tidak merespon apapun. Bagaimana aku bisa merespon, Dhes? Posisiku waktu itu baru kehilangan Ayah tercinta. Kamu tahu, kan? Aku kehilangan Ayah saat baru datang ke Beijing. Aku tidak sempat melihat Ayahku untuk terakhir kali, tidak bisa merasakan sakitnya, bahkan tidak sempat meminta maaf untuk terakhir kalinya.

Keadaan itu nggak akan kembali meskipun aku nangis jungkir balik. Kondisi itu aku dapatkan karena aku sedang diuji dengan persoalan kehidupan di atas rata-rata orang lain. Aku terlalu istimewa untuk mendapatkan ujian biasa, sehingga Allah memberi pilihan padaku sebuah masa depan yang aku perjuangkan dan mengambil ayahku selamanya.

Kemampuan setiap orang dalam menghadapi istimewa. Tidak ada yang lebih baik dan lebih buruk. Bagaimanapun kita akan mencari solusi terbaik untuk menghadapi semuanya.

Akumulasi Kesepian

Apa yang membuatmu menangis, Dhes? Sedikit banyaknya aku bisa merasakan apa yang kau rasakan. Semua bukan tentang penyesalan, tapi tentang kesepian. Bukan karena kita sudah merantau belasan tahun, lantas kesepian itu tidak hadir. Dia hadir dalam wujud lain. Wujud yang seringkali melemahkan kita sebagai hamba.

Ada kalanya kita dihadapkan dengan glamornya kota perantauan. Di sini kita merasa beruntung, di lain waktu kita merasa tidak nyaman. Apalagi jika target kita untuk sukses belum mencapai sesuai keinginan kita. Namun sebenarnya kita sudah sukses, Dhes. Kita mampu bertahan di tengah keterbatasan yang orang lain belum tentu mau lakukan dan lewatkan.

Selama ini kita merasa ramai, bahagia, dan selalu berada bersama teman-teman yang menyenangkan. Ada kalanya kita merasa cukup dengan mereka. Namun hati kecil kita menolak. Kita masih tetap sebagai anak yang merindukan nasihat orang tua. Kita masih menjadi bocah di mata mereka. Kita tetaplah anak yang merindukan rumah.

Beban yang kita rasakan saat mengingat rumah adalah akumulasi kerinduan yang selama ini kita tunda mengungkapkannya. Ia bertumpuk menjadi beban batu yang menghalang setiap langkah. Solusinya adalah pulang, Dhes. Pulanglah, temui orang-orang yang kau rindukan.

Tidak Ada yang Salah dengan Pulang

Jika orang bilang kau terlalu cepat untuk pulang, abaikan itu. Tidak ada batas waktu untuk pulang ke rumah. Setiap anak punya hak untuk pulang kapanpun dia mau. Pintu rumah akan selalu terbuka. Orang rumah akan selalu menunggu dan menyambutmu dengan kerinduan.

Tidak ada waktu yang terlalu cepat untuk pulang. Kepulangan kita nggak harus dinilai dari sukses atau tidak di mata orang lain. Sukses menurut kita belum tentu di mata orang lain. Bagiku, kau berani meninggalkan tanah kelahiran menuju ibu kota saja sebuah kesuksesan. Kau bisa menaklukkan rasa takut, mengimbangi kesendirian, dan berjuang dengan kedua tanganmu sendiri.

Tidak ada yang salah dengan pulang, Dhes. Kalau menurutmu sudah waktunya pulang. Pulanglah. Di sana kau bisa menemukan kehangatan dan kekayaan yang tak pernah kau rasakan selama di rantau. Pulanglah sebelum terlambat.

Tentang Pergi Lagi

Sebulan di rumah, mungkin kau akan merasakan kebosanan. Terutama setelah seluruh keinginanmu saat pulang tercontreng. Akan ada keinginan untuk pergi lagi. Mencari lagi apayang ingin diraih. Begitulah hakikatnya seorang perantau.


pulang
Pulang dan pergi bagian dari kehidupan perantau
[Photo: Pexels]

Jika kelak kau ingin pergi lagi, jangan tahan langkahmu. Bersiaplah untuk pergi lagi. Raih impianmu, lengkapi cita-citamu. Sekarang atau nanti, kita memang akan bergerak untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Jangan Bersedih

Jangan bersedih terlalu lama, Dhes. Jika kau ingin pelampiasan, bukankah kau punya blog yang bisa kau tumpahkan uneg-unegmu? Kau punya cerita menarik tentang perjalananmu. Kau bisa menuliskannya di sana. Kau bisa menulis tentang Jakarta yang tidak orang tahu.

Dari blog travel and lifestyle kau bisa menemukan kesibukan baru. Kebahagiaan baru. Juga tempat berlatih kecepatan tangan dan mengelola emosi. Siapa tahu, kelak kau akan menjadi seorang penulis hebat dan bekerja di Tempo. Atau bahkan memiliki media sendiri.

Aku tak sabar membacanya, Dhes.

Posting Komentar