Pernahkah kalian belajar sesuatu dari seseorang yang lebih muda tentang hidup? Saya pernah, sering pula. Namun dari semua yang pernah saya hadapi dan dengarkan, ada satu orang yang cukup berkesan. Dia adalah roommate keenam saya asal Belgia. Dia mengingatkan saya untuk syukuri hari ini, jalani masa depan. Sesederhana itu.
Sejak
merantau ketika kuliah, saya ngekos dan memiliki roommate sebanyak enam
kali. Roommate pertama adalah teman sekolah saya. Kemudian kami terpisah
karena dia pindah kos, saya juga. Kami sempat tinggal di kos berbeda selama
beberapa bulan. Roommate kedua, kakak sepupu saya yang selisih usia dua
tahun. Saya juga nggak tinggal lama dengan sepupu ini, hanya beberapa bulan
saja.
![]() |
| Ilustrasi kamar kost [Photo: Pexels] |
Pertemuan
dengan roommate ketiga agak unik. Dia teman sekelas yang juga besti
saya. Kami menjadi roommate nggak sengaja. Waktu itu dia main ke kos
kedua saya setelah kakak sepupu pindah kos. Si teman agak kaget melihat kondisi
kos, apalagi saya tidur di lantai dengan kasur menipis. Mirisnya, kalau hujan
air got di belakang kos bisa merembes dari dinding papan.
Kawan
saya berkata, “ke depan kamu harus cari kos yang lebih baik.” Begitu katanya.
Kondisi saya waktu itu sedang sakit. Jadi dia menjenguk saya. Karena kasihan,
dia mengangkut beberapa pakaian dan memasukkan ke dalam tas. Dia mengajak saya
nginap di kosnya sampai saya mendapat rumah kos baru yang lebih baik.
Bersama
roommate ketiga ini, saya tinggal di kamarnya selama tiga bulan. Saya
menumpang setengah gratis. Selama tiga bulan saya hanya menyumbang uang belanja
dan listrik. Sesekali saya menyumbang persabunan untuk mencuci pakaian. Tugas
tambahan menimba air, menyaring air, dan memasak bersama teman kos lainnya.
Mereka tidak menuntut, tapi saya cukup tahu diri.
Saat
mencari kos, kami nggak sengaja singgah ke kos roommate pertama saya.
Ternyata di kos ini kosong. Saya langsung membayar panjar dan tinggal di kos
ini. Di kos ini saya tinggal sendiri sampai lulus kuliah. Baru kemudian saya pindah
kos. Roommate pertama kembali menjadi roommate keempat saat dia
menyelesaikan pendidikan S1 keduanya.
Pindah Ke Beijing
Tinggal
bersama roommate keempat tidak lama. Dia hanya tinggal dengan saya
setahun. Tinggal efektif selama satu semester, kemudian dia lebih banyak
tinggal di kampung untuk melakukan penelitian. Setelah dia keluar, saya nggak
punya roommate lagi. Lagipula saya lebih nyaman tinggal sendiri.
Dua
tahun tinggal di kos jendela biru, saya pindah ke Beijing. Tinggal di
asrama yang disediakan kampus. Dibandingkan dengan kata asrama, kata hotel
bintang lima memang lebih cocok untuk tempat tinggal saya. Dua tahun lamanya,
saya tinggal sendiri. Akan tetapi, saya punya roommate. Namanya Dene,
asal New Mexico, Amerika Serikat. Dene menjadi roommate saya yang
kelima.
Dia
jarang berada di asrama. Katanya dia sudah menyewa apartemen di kawasan
Sanlitun. Kawasan jedag jedug yang disebut juga kawasan internasional. Dosen
saya mengatakan ini daerah huaqian (buang uang) karena banyak mall
dengan barang branded internasional. Saya setuju. Bahkan Dene juga
setuju.
| Ilustrasi pertemanan internasional [Photo: Dokumentasi pribadi] |
Tahun
kedua Dene pindah ke asrama. Semester pertama Dene selalu di kamar, baru
semester kedua dia pindah ke kamar atas. Diam-diam dia tinggal bersama pacarnya
di lantai tujuh sementara kamar di lantai empat kembali saya tempati sendiri.
Selama
tinggal bersama Dene, saya belajar satu hal: toleransi. Banyak hal yang harus
saya toleransi dari Dene, begitupun Dene. Terlebih dalam gaya hidup dan budaya
yang tidak sama. Kami harus saling memahami satu sama lain. Mengenal Dene
membuka mata saya tentang pertemanan yang global dan tata krama yang lokal.
Seperti slogan sebuah produk pendidikan, act locally, think globally.
Toleransi Harga Mati
Toleransi
harga mati, itu sebuah kepastian dan keharusan. Bagaimana tidak? Dalam situasi
yang sulit dijelaskan, kita harus meminggirkan beberapa alasan untuk bertahan.
Salah satunya tentang toleransi terhadap hal-hal yang sama sekali tidak cocok
dengan kita. Apalagi, nih, kalau kita harus berbagi kamar dengan orang lain.
Beberapa hal yang harus banget kita toleransi dengan harga mati terkait dengan
prinsip, kebiasaan, dan budaya orang lain.
(1). Ibadah dan Agama yang Berbeda
Urusan
ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing adalah hak asasi pribadi. Kita
atau teman sekamar kita punya hak untuk beribadah dengan nyaman. Memang, sih, roommate
itu bisa kita cari sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kita. Itu berlaku
untuk yang tinggal di luar kampus dan mencari flat atau apartemen sendiri.
Bagaimana
dengan yang tinggal di asrama? Apalagi kalau siapa yang akan tinggal dengan
kita ditentukan oleh pihak asrama kampus. Wah, serius! Toleransi harga mati
harus menjadi napas dalam berinteraksi sosial.
Jika
ini terjadi, maka harus mulai tanamkan kekuatan pada diri sendiri. Kuat secara
mental adalah hal mutlak. Seringkali kita terganggu dengan pujian teman sekamar
untuk Tuhannya. Dia juga demikian, bisa jadi terganggu saat mendengar kita
mengaji. Jika merasa terganggu, lebih baik tinggalkan kamar untuk sesaat selama
dia beribadah.
Intinya
jika kita punya toleransi terhadap ibadahnya, kita juga akan mendapat toleransi
saat beribadah. Kalaupun merasa terganggu dengan caranya beribada, jangan
disampaikan secara frontal. Cari solusi lain. Misalnya saja dengan pindah ke
kamar lain atau menyewa flat atau apartemen di luar kampus agar lebih merasa nyaman.
(2). Kebiasaan Buruk
Karakter
manusia beraneka ragam. Ada yang masih bisa kita toleransi, ada yang tidak sama
sekali. Hal yang bisa ditoleransi seperti makan di kamar, berantakan, dan
lain-lain. Ada juga yang tidak bisa ditoleransi seperti suka ajak teman
nongkrong di kamar atau klepto. Sebelum kita meminta toleransi kepada orang
lain untuk kebiasaan buruknya, toleransi dulu kebiasaan buruk teman sekamar
kita.
Toleransi
terhadap kebiasaan buruk orang lain itu tidak mudah. Itu yang saya pahami
bertahun-tahun kuliah dan berbagi kamar. Saya pernah punya teman sekamar,
hobinya berpenampilan polos di tengah malam. Tidak walau sehelai benang pun.
Jujur saja, saya sangat terganggu. Lantas, kami sepakat untuk menyekat kedua
ranjang dengan rak buku di tengah.
Pernah
juga memiliki teman sekamar yang hobi pesta di akhir pekan. Setiap malam minggu
pulang dalam keadaan mabuk. Sialnya, dia selalu muntah di kamar dan menebarkan
bau alkohol yang mengerikan. Saya terganggu, tapi menahan diri untuk tidak
marah-marah. Saat dia melihat saya pindah posisi shalat dari lantai ke atas
ranjang, dia bertanya-tanya. Setelah menjelaskan bagaimana saya beribadah dia
pun berhenti minum.
(3). Kamar yang Berantakan
Ada
pula teman yang sangat berantakan. Dia bisa melempar sepatu, baju, pakaian
dalam dimana-mana. Keranjang kotor seluas lantai. Dia lantas membuat sekat
bagian kami agar saya tidak terganggu dengan barang-barangnya yang berantakan.
Meninggalkan
kamar yang berantakan sudah menjadi kebiasaan buruknya. Dia tidak bisa berbenah
dan sulit menyesuaikan diri dengan kebiasaan saya yang suka bersih-bersih saat
stres. Sudah pasti, tekanan dan sistem belajar di negeri orang yang berbeda menyumbang
sedikit stress untuk saya. Bersih-bersih bagian saya menjadi rutinitas. Saya
hanya tidak menyentuh barangnya sama sekali. Akhirnya dia memutuskan tinggal di
luar meski tetap menggunakan kamar kami sebagai kamar singgah.
(4). Kamar Terang VS Kamar Gelap
Kebiasaan
saat tidur juga memberi pengaruh yang besar. Saya terbiasa tidur sendiri dengan
kondisi kamar yang terang. Pernah sekali waktu saya mendapat teman sekamar yang
tidak bisa tidur dalam kondisi terang. Selama saya masih terbangun, dia tidak
bisa tidur.
Setiap
malam dia menunggu saya tidur lebih dulu, baru menyusul tidur. Akhirnya kami
membeli lampu tidur yang cenderung gelap untuk mengambil jalan tengah. Saya
juga menjelaskan alasan kenapa tidak bisa tidur dalam kondisi ruangan gelap
gulita. Untungnya teman saya sangat pengertian.
(5) Irama Bawah Sadar
Menurut
saya, inilah yang paling sulit dari seluruh toleransi harga mati. Irama bawah
sadar alias ngorok. Tidak semua orang bisa tidur dalam situasi apapun. Ada
orang-orang yang sangat sensitif dengan suara. Sedikit saja suara, dia akan
terbangun. Kebayang kalau ngorok sepanjang malam, teman sekamar pasti nggak
bisa tidur.
Hal
yang bisa dilakukan untuk mencegah pertengkaran gegara irama bawah sadar adalah
komunikasi. Bicarakan kepada teman sekamar jika kita punya kebiasaan ngorok.
Irama bawah sadar ini juga tidak kita inginkan, tapi bisa terjadi begitu saja tanpa
kita sadari.
Alhamdulillah,
jika sama-sama mengerti. Jika tidak, carikan solusi lain agar tidak terjadi
konflik dengan teman sekamar.
Syukuri Hari Ini
Hidup
berpindah dengan teman kos berbeda-beda banyak memberi pelajaran hidup untuk
saya. Terutama dalam menghadapi berbagai jenis karakter manusia. Ada
orang-orang yang terlalu peduli dengan orang lain sampai membuat kita tidak
nyaman. Syukuri saja, tandanya dia sangat sayang dan peduli pada kita.
Ada
pula orang yang selalu mengkritik apa yang kita lakukan. Syukuri juga, dia
tidak ingin mendengar orang lain berkata jelek tentang kita. Jadi dia
mengkritisi apa saja yang kita lakukan. Selama tidak berlebihan dan tidak
berniat mempermalukan di depan orang lain, syukuri bahwa dia bisa menjadi
konsultan pribadi kita yang perfeksionis.
Saat
berada bersama orang-orang baru yang selalu memberi warna. Saya hanya
mensyukuri apa yang terjadi hari ini. Mungkin kita tidak akan mendapatkan
kenikmatan itu di masa yang akan datang. Termasuk orang-orang yang kita temui
hari ini.
Jalani Masa Depan
Kata
orang, masa depan adalah misteri. Namun misteri itu harus dipecahkan mulai
sekarang dengan cara menjalani hari ini. Ya, menjalani hari ini sama dengan
mempersiapkan masa depan. Ketika kita menjalani masa depan yang baik, itu
adalah bagian dari hasil yang kita persiapkan pada hari ini.
![]() |
| Ilustrasi hidup adalah perencanaan [Photo: Pexels] |
Saya
tidak yakin bisa bertoleransi dengan berbagai hal negatif yang saya hadapi saat
ini kalau tidak belajar menerima keadaan di masa lalu. Bagaimana tidak, dulunya
saya sangat tidak suka jika ada barang yang berceceran atau posisinya tidak
sesuai dengan kehendak saya. Namun bertemu dengan orang-orang yang berbeda
budaya lantas mengajarkan saya bahwa hidup itu harus berimbang. Nggak melulu
rapi, harus ada sisi berantakan juga.
Di
lain waktu saya paling suka bercerita. Apa saja akan menjadi cerita yang saya
ungkapkan kepada teman-teman saya. Saat masih di Banda Aceh, teman-teman akan
mendengarkan atau pergi. Paling buruk mereka memotong pembicaraan dengan cerita
lain untuk membuat saya berhenti bicara. Namun setelah bertemu dengan budaya
baru dan orang yang to the point saat bicara, kebiasaan itu berubah
perlahan. Saya mulai menata kapan harus bicara dan kapan tidak.
Ada
waktunya juga saya merasa tidak enakan mengatakan tidak saat orang lain meminta
tolong atau menyuruh ini itu. Saat berbaur dengan budaya lain, saya belajar
berkata tidak. Tanpa sadar saya sudah tahu caranya menolak tanpa harus membuat
kebohongan sebagai alasan.
Kesimpulan: Hari Ini Adalah Investasi Masa Depan
Hari ini adalah investasi masa depan. Syukuri hari ini, jalani masa depan. Kita tidak pernah tahu berapa tahun lagi kita hidup. Lakukan hal-hal baik yang mampu kita lakukan. Jika sepuluh atau dua puluh tahun lagi kita masih hidup, kita akan berterima kasih pada diri kita hari ini. Ternyata kita sudah mempersiapkan masa depan dengan baik. Jangan lupa menjadi pribadi yang lebih baik setiap hari.




Posting Komentar