“Ngapain lanjut kuliah sekarang? Memangnya mau ngapain? Kita masih sangat muda, lho.”
“Mau
kabur, ya? Memang, sih, jalan paling gampang ambil tubel.”
“Yakin
mau ambil tubel? Semua tunjangan hilang, lho.”
“Yaelah,
ngapain sekarang. Nanti saja kalau rumah udah agak besar, pagar udah estetik,
dan mobil udah punya. Memangnya mau lebih keren mahasiswa daripada dosen?”
“Memangnya
setelah ambil tubel mau ngapain? Bosan tahu! Kecuali kamu punya kegiatan lain
yang bisa menjamin kesibukan tanpa bikin stres.”
“Eh,
mau promil lagi, ya?”
Ilustrasi study
[Photo: Pexels]
Ambil Tubel Tambah Trouble
“Ambil
tubel?” pertanyaan ini nggak asing di kalangan akademisi, khususnya di dalam
perbincangan para dosen yang masa kerjanya sudah lima tahun lebih.
Ambil
tubel atau tugas belajar adalah salah satu pertanyaan atau kalimat yang
memiliki dua makna. Diksi bermakna ganda di kalangan akademisi. Ada yang
menilai negatif, positif, atau justru menjadi kalimat motivasi antar sesama
dosen.
Makna
negatif yang muncul jika kata ‘ambil tubel’ ini dilakukan oleh dosen dalam
tugas tambahan seperti ketua program studi (kaprodi) atau sekretaris prodi
(sekprodi). Kesannya ambil tubel seperti melepaskan tanggung jawab yang belum
selesai. Apalagi jika prodi tersebut sedang berjuang dan jungkir balik proses
akreditasi. Kesannya jahat banget gitu. Padahal nggak melulu soal kabur, tubel
bisa karena memang si dosen sudah punya target pada tahun tersebut.
Makna
positif justru hadir pada dosen yang tidak memiliki jabatan apapun di kampus.
Dia melanjutkan studi dengan tenang meski alasan aslinya memang kabur dari
rutinitas akademik. Soalnya berada di kampus dengan rutinitas monoton juga
melelahkan. Belum lagi masa efisiensi yang membuat isi dompet ketar ketir.
Dosen auto miskin melalui jalur kesibukan akademiknya. Meskipun ambil tubel
dengan personal fundrising nggak menjamin dompet aman, tapi pandangan
sesama kolega tetap posiitif. Tak jarang dibuatkan flyer untuk dibagikan
di media sosial.
Dosen
dengan tubel berstatus beasiswa kastanya paling tinggi. Apalagi mendapatkan
beasiswa luar negeri. Wah, jangan tanya euforia sesaatnya. Bukan cuma dibuatkan
flyer, diposting berulang, ditraktir makan dan hadiah berupa kebutuhan
di luar negeri, tapi juga menjadi motivasi untuk rekan lainnya dalam upgrade
diri. Bahkan kalau tugas tambahan melekat juga dilupakan. Meski tidak
banyak yang seperti ini, tapi dosen yang ambil tubel jalur beasiswa memang
selalu menjadi indikator indahnya ambil tubel.
Nah,
ketika saya mencoba mengeluarkan wacana ambil tubel tanpa status beasiswa dan posisi sedang dalam tugas tambahan justru
reaksinya seperti sudah ditebak. Kata ambil tubel ini menjadi bola liar yang
menjadi prasangka berbagai macam. Akan tetapi banyak alasan seseorang
memutuskan tubel. Ianya nggak sesederhana seperti saat menulis esai personal
statement ketika melengkapi syarat beasiswa. Lebih dari itu, ada
pertimbangan penuh dan berat yang harus dilakukan. Jangan sampai setelah ambil
tubel ternyata malah tambah trouble.
Kabur Akademik
Meskipun
banyak yang menggolongkan dosen ambil tubel sebagai kabur akademik, tapi banyak
alasan lain mengapa dosen memilih melanjutkan studi doktoral. Ini nggak melulu
soal kabur dan melepas tanggung jawab
kampus. Alasannya justru karena sebaliknya, dosen yang bersangkutan memiliki tanggung
jawab akademik pada homebase yang membuat dapurnya mengepul. Beberapa
alasan seringkali dibantah, tapi ini nyata.
![]() |
Mengajar sebagai salah satu tugas utama dosen [Photo: Pexels] |
Salah
satu pertanyaan asesor saat akreditasi selalu mengarah pada jenjang tertinggi
dosen prodi. Pertanyaan seperti, “bepara orang dosen yang sudah doktor di prodi
ini?”. Ini pertanyaan yang cukup mematikan dan tidak bisa dimanipulasi. Datanya
termaktub di Pangkalan Data Dikti (PD-Dikti). Bisa diakses oleh asesor dengan
mudah. Jadi, apa yang mau dibohongi.
Selain
alasan akreditasi, alasan lain yang menjadi alasan dosen ambil tubel program
doktor beragam. Umumnya, alasan utama adalah sebagai berikut. Sama seperti
alasan saya saat memikirkan harus lanjut kuliah meski belum kesampaian.
(1). Meningkatkan Kompetensi dan Keahlian
Bukan
jenuh masuk kampus atau menjalankan rutinitas itu-itu saja. Dosen juga perlu
meningkatkan kompetensi dan keahlian di bidangnya. Zaman selalu bergerak ke
arah berkembang, dosen juga harus mengikuti zamannya. Kualitas riset harus
meningkat seiring dengan jam terbang yang semakin tinggi. Pendidikan doktoral
menempa dosen untuk menghasilkan kualitas riset yang lebih baik dan mendalam.
Pengembangan
keilmuan dosen juga menjadi kapasitas utama yang dibutuhkan dalam meningkatkan
kompetensi. Penguasaan bidang keilmuan sesuai dengan bidang studi yang diampu
mengharuskan dosen untuk mengajar dengan materi yang mutakhir dan relevan.
Apalagi jika dosen ingin menjadi pakar di bidang tertentu dari penjabaran
keilmuannya. Lanjut studi is a must.
(2). Pengembangan Karir
Bagi
yang menginginkan jenjang karir yang lebih tinggi, program doktor menjadi jalan
ke arah tujuan. Peluang menjadi guru besar tentu menjadi bagian dari
pengembangan karir. Jenjang karir akademik juga membuka peluang untuk menduduki
posisi tertentu di kampus. Perhatikan, deh, rata-rata rektor di Indonesia punya
gelar profesor, kan?
Tidak
mau menduduki jabatan nggak masalah. Melanjutkan studi ke jenjang yang lebih
tinggi nggak melulu soal jabatan dan kursi panas. Hal sederhana yang tapi luar
biasa yang kita dapatkan adalah mendapatkan perluasan jaringan. Bahkan
mengambil kelas khusus dengan belajar kolektif pun bisa mendapatkan perluasan
jaringan, apalagi jika kuliah dengan classmate dengan latar beragam.
(3). Kontribusi Pada Keilmuan dan Pendidikan
Nah,
ini soal tanggung jawab moral sebagai instansi yang memberi tempat untuk dosen.
Bukan soal dapur yang mengepul saja, tapi masa depan anak didik dan hajat hidup
orang banyak. Ambil tubel ke pendidikan lebih tinggi bagian dari kontribusi
keilmuan dan pendidikan.
Semakin
banyak dosen lulusan doktor atau lebih tinggi, semakin meningkat kualitas
mahasiswa yang dididik. Apalagi dosen selalu dituntut untuk menghasilkan temuan
baru yang relevan dengan perkembangan zaman. Mahasiswanya juga jadi ikutan
pintar, kan?
(4). Kebutuhan Diri
Kebutuhan
diri di sini bukan sekedar untuk liburan atau bebas tugas dari kegiatan
akademik. Kebutuhan diri yang dimaksud bagi personal dosen adanya kepuasan diri
telah mencapai level yang lebih tinggi dari kegiatan akademiknya. Apalagi jika
ingin mencapai karir lebih tinggi dengan syarat utamanya harus doktor, tentu
saja ambil tubel ini adalah kebutuhan diri yang wajib dipenuhi.
Ambil Tubel Tanpa Kubur Ilmiah
Pernah
teman saya bertanya, “memangnya setelah ambil tubel kamu mau ngapain?.”
Pertanyaan ini terdengar sederhana, tapi agak mengambang. Memangnya setelah
dosen ambil tubel statusnya pengangguran? Tentu tidak, dong.
![]() |
Ilustrasi belajar sambil liburan [Photo: Pexels] |
(1). Aktif dalam Tridarma
Ada
banyak hal yang dapat dilakukan selama dosen menjalani tugas belajar. Jika
tidak menyalahi aturan, bisa banget dosen masih aktif dalam kegiatan tridarma.
Dalam bidang pendidikan, meskipun tidak lagi mengajar mata kuliah dalam rentang
tahun berjalan tubel, dosen bisa mempersiapkan buku ajar atau referensi.
Lumayan banget begitu mulai aktif mengajar kembali sudah ada buku referensi
yang dihasilkan.
Keuntungannya
bukan hanya untuk pribadi, tapi untuk prodi karena memiliki dosen tetap yang
semakin glow up setelah tubel. Hm, tanpa berada di tempat pun sudah
menyumbang kontribusi yang gemilang, bukan?
Sebagai
dosen, tuntutan menulis artikel ilmiah adalah kewajiban. Bukan berarti selama
tubel, menulis malah menjadi pasif. Justru karena sedang berurusan dengan
peningkatan kompetensi, saatnya menulis dengan level yang juga di-upgrade lebih
luas.
Tridarma
terakhir dalam bidang pelayanan kepada masyarakat. Apa yang salah dengan
mengikuti pelayanan dalam pengabdian. Jika tidak bisa berjalan bersama tim,
dosen bisa membuat ruang gerak sendiri. Selain untuk pengabdian kepada
masyarakat, data yang didapat di lapangan bisa menjadi sumber data untuk
memperkaya jurnal ilmiah yang nantinya ditulis.
(2). Strategi Pemenuhan Syarat
Untuk
mencapai jenjang akademik tertentu, dosen juga dituntut berbagai syarat.
Tubel bisa menjadi jembatan sebagai strategi pemenuhan syarat akademik
tertentu. Siapkan syaratnya selama tubel, ini justru lebih mudah karena tidak
terdistraksi dengan kegiatan lainnya. Misalnya saja dengan tek bengek
administrasi, tugas struktural, atau mengajar disertai rapat ini dan itu.
(3). Mengikuti Perkembangan Kebijakan
Bukan
rahasia jika di Indonesia kebijakan berubah-ubah sesuai dengan pemegang
kebijakan. Selama tubel, dosen bisa lebih fokus mengikuti perkembangan
kebijakan yang terus berubah. Siapa tahu dengan pengamatan yang lebih terfokus,
kita bisa mempersiapkan diri untuk melompat atau melaju lebih cepat tanpa harus
ikutan sakit kepala bersama teman lainnya.
Tidak Mengubur Ilmiah
Bukan rahasia jika dosen sedang tubel sedikit banyaknya auto kekurangan. Bagi dosen yang sudah berkeluarga dan anak di usia sekolah, kebutuhan semakin tinggi. Maka mencari uang tambahan dengan bekerja sampingan sudah seperti keharusan. Ada berbagai macam pekerjaan yang dilakukan dosen selama tubel untuk tetap mengepulkan dapurnya. Ada yang masih di jalur akademik sampai berbisnis.
![]() |
Masalah finansial adalah masalah paling sering dihadapi oleh dosen yang lanjut studi. [Photo: Pexels] |
Dosen tubel tidak perlu menguburkan kegiatan ilmiah dengan tetap produktif menulis. Setidaknya menjadikan menulis sebagai kebiasaan yang bisa dilakukan disela-sela kesibukan sebagai mahasiswa yang sedang tubel. Sehingga kemampuan akademiknya tetap terasah semakin tajam selama tubel.
Kesimpulan
Jadi,
pertanyaan tentang “mau ngapain saat tubel? Bosan, tahu!” akan saya jawab juga
dengan sederhana. Insyaallah, tidak akan bosan. Melalui untingan halaman ini
saya bisa tetap berinteraksi dengan pembaca dengan menulis berbagai hal yang
ada dalam kepala. Saya bisa berbagi cerita tentang perjalanan, perjuangan, atau
strategi menyelesaikan masalah yang dihadaoi oleh dosen yang sedang berhenti
mengajar karena tubel.
Kalau
cuma untuk perjalanan dinas yang hilang, memang ada baiknya kita melakukan
perjalanan sendiri tanpa terikat dinas. Saya masih ingat perjalanan dinas bek
pikee yang menyisakan diam karena beberapa hal. Justru dengan
perjalanan yang dilakukan sendiri saya mendapatkan banyak hal untuk diri dan
kontribusi untuk semua tujuan.
Selama
menjalani tubel banyak hal yang bisa dilakukan termasuk untuk mengembangkan
kekuatan pribadi. Belajar bahasa asing, belajar keahlian baru, dan tentu saja
selalu berlumpul dengan keluarga dan mendampingi anak melewati tumbuh kembang.
Nah,
menurut Teman Belajar, apa hal lain yang bisa dilakukan selama menjalani tubel?
Posting Komentar