Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Ambil Tubel, Kabur Akademik Tanpa Kubur Ilmiah

Tugas belajar (tubel) adalah agenda yang dikejar sekaligus dihindari oleh dosen. Ada apa, ya? Kok pada main petak umpet dengan tubel? Cekidot!

“Ngapain lanjut kuliah sekarang? Memangnya mau ngapain? Kita masih sangat muda, lho.”

“Mau kabur, ya? Memang, sih, jalan paling gampang ambil tubel.”

“Yakin mau ambil tubel? Semua tunjangan hilang, lho.”

“Yaelah, ngapain sekarang. Nanti saja kalau rumah udah agak besar, pagar udah estetik, dan mobil udah punya. Memangnya mau lebih keren mahasiswa daripada dosen?”

“Memangnya setelah ambil tubel mau ngapain? Bosan tahu! Kecuali kamu punya kegiatan lain yang bisa menjamin kesibukan tanpa bikin stres.”

“Eh, mau promil lagi, ya?”


tugas belajar
Ilustrasi study
[Photo: Pexels]


Ambil Tubel Tambah Trouble

“Ambil tubel?” pertanyaan ini nggak asing di kalangan akademisi, khususnya di dalam perbincangan para dosen yang masa kerjanya sudah lima tahun lebih.

Ambil tubel atau tugas belajar adalah salah satu pertanyaan atau kalimat yang memiliki dua makna. Diksi bermakna ganda di kalangan akademisi. Ada yang menilai negatif, positif, atau justru menjadi kalimat motivasi antar sesama dosen.

Makna negatif yang muncul jika kata ‘ambil tubel’ ini dilakukan oleh dosen dalam tugas tambahan seperti ketua program studi (kaprodi) atau sekretaris prodi (sekprodi). Kesannya ambil tubel seperti melepaskan tanggung jawab yang belum selesai. Apalagi jika prodi tersebut sedang berjuang dan jungkir balik proses akreditasi. Kesannya jahat banget gitu. Padahal nggak melulu soal kabur, tubel bisa karena memang si dosen sudah punya target pada tahun tersebut.

Makna positif justru hadir pada dosen yang tidak memiliki jabatan apapun di kampus. Dia melanjutkan studi dengan tenang meski alasan aslinya memang kabur dari rutinitas akademik. Soalnya berada di kampus dengan rutinitas monoton juga melelahkan. Belum lagi masa efisiensi yang membuat isi dompet ketar ketir. Dosen auto miskin melalui jalur kesibukan akademiknya. Meskipun ambil tubel dengan personal fundrising nggak menjamin dompet aman, tapi pandangan sesama kolega tetap posiitif. Tak jarang dibuatkan flyer untuk dibagikan di media sosial.

Dosen dengan tubel berstatus beasiswa kastanya paling tinggi. Apalagi mendapatkan beasiswa luar negeri. Wah, jangan tanya euforia sesaatnya. Bukan cuma dibuatkan flyer, diposting berulang, ditraktir makan dan hadiah berupa kebutuhan di luar negeri, tapi juga menjadi motivasi untuk rekan lainnya dalam upgrade diri. Bahkan kalau tugas tambahan melekat juga dilupakan. Meski tidak banyak yang seperti ini, tapi dosen yang ambil tubel jalur beasiswa memang selalu menjadi indikator indahnya ambil tubel.

Nah, ketika saya mencoba mengeluarkan wacana ambil tubel tanpa status beasiswa  dan posisi sedang dalam tugas tambahan justru reaksinya seperti sudah ditebak. Kata ambil tubel ini menjadi bola liar yang menjadi prasangka berbagai macam. Akan tetapi banyak alasan seseorang memutuskan tubel. Ianya nggak sesederhana seperti saat menulis esai personal statement ketika melengkapi syarat beasiswa. Lebih dari itu, ada pertimbangan penuh dan berat yang harus dilakukan. Jangan sampai setelah ambil tubel ternyata malah tambah trouble.

Kabur Akademik

Meskipun banyak yang menggolongkan dosen ambil tubel sebagai kabur akademik, tapi banyak alasan lain mengapa dosen memilih melanjutkan studi doktoral. Ini nggak melulu soal kabur  dan melepas tanggung jawab kampus. Alasannya justru karena sebaliknya, dosen yang bersangkutan memiliki tanggung jawab akademik pada homebase yang membuat dapurnya mengepul. Beberapa alasan seringkali dibantah, tapi ini nyata.


Mengajar sebagai salah satu tugas utama dosen
[Photo: Pexels]

Salah satu pertanyaan asesor saat akreditasi selalu mengarah pada jenjang tertinggi dosen prodi. Pertanyaan seperti, “bepara orang dosen yang sudah doktor di prodi ini?”. Ini pertanyaan yang cukup mematikan dan tidak bisa dimanipulasi. Datanya termaktub di Pangkalan Data Dikti (PD-Dikti). Bisa diakses oleh asesor dengan mudah. Jadi, apa yang mau dibohongi.

Selain alasan akreditasi, alasan lain yang menjadi alasan dosen ambil tubel program doktor beragam. Umumnya, alasan utama adalah sebagai berikut. Sama seperti alasan saya saat memikirkan harus lanjut kuliah meski belum kesampaian.

(1). Meningkatkan Kompetensi dan Keahlian

Bukan jenuh masuk kampus atau menjalankan rutinitas itu-itu saja. Dosen juga perlu meningkatkan kompetensi dan keahlian di bidangnya. Zaman selalu bergerak ke arah berkembang, dosen juga harus mengikuti zamannya. Kualitas riset harus meningkat seiring dengan jam terbang yang semakin tinggi. Pendidikan doktoral menempa dosen untuk menghasilkan kualitas riset yang lebih baik dan mendalam.

Pengembangan keilmuan dosen juga menjadi kapasitas utama yang dibutuhkan dalam meningkatkan kompetensi. Penguasaan bidang keilmuan sesuai dengan bidang studi yang diampu mengharuskan dosen untuk mengajar dengan materi yang mutakhir dan relevan. Apalagi jika dosen ingin menjadi pakar di bidang tertentu dari penjabaran keilmuannya. Lanjut studi is a must.

(2). Pengembangan Karir

Bagi yang menginginkan jenjang karir yang lebih tinggi, program doktor menjadi jalan ke arah tujuan. Peluang menjadi guru besar tentu menjadi bagian dari pengembangan karir. Jenjang karir akademik juga membuka peluang untuk menduduki posisi tertentu di kampus. Perhatikan, deh, rata-rata rektor di Indonesia punya gelar profesor, kan?

Tidak mau menduduki jabatan nggak masalah. Melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi nggak melulu soal jabatan dan kursi panas. Hal sederhana yang tapi luar biasa yang kita dapatkan adalah mendapatkan perluasan jaringan. Bahkan mengambil kelas khusus dengan belajar kolektif pun bisa mendapatkan perluasan jaringan, apalagi jika kuliah dengan classmate dengan latar beragam.

(3). Kontribusi Pada Keilmuan dan Pendidikan

Nah, ini soal tanggung jawab moral sebagai instansi yang memberi tempat untuk dosen. Bukan soal dapur yang mengepul saja, tapi masa depan anak didik dan hajat hidup orang banyak. Ambil tubel ke pendidikan lebih tinggi bagian dari kontribusi keilmuan dan pendidikan.

Semakin banyak dosen lulusan doktor atau lebih tinggi, semakin meningkat kualitas mahasiswa yang dididik. Apalagi dosen selalu dituntut untuk menghasilkan temuan baru yang relevan dengan perkembangan zaman. Mahasiswanya juga jadi ikutan pintar, kan?

(4). Kebutuhan Diri

Kebutuhan diri di sini bukan sekedar untuk liburan atau bebas tugas dari kegiatan akademik. Kebutuhan diri yang dimaksud bagi personal dosen adanya kepuasan diri telah mencapai level yang lebih tinggi dari kegiatan akademiknya. Apalagi jika ingin mencapai karir lebih tinggi dengan syarat utamanya harus doktor, tentu saja ambil tubel ini adalah kebutuhan diri yang wajib dipenuhi.

Ambil Tubel Tanpa Kubur Ilmiah

Pernah teman saya bertanya, “memangnya setelah ambil tubel kamu mau ngapain?.” Pertanyaan ini terdengar sederhana, tapi agak mengambang. Memangnya setelah dosen ambil tubel statusnya pengangguran? Tentu tidak, dong.


Liburan
Ilustrasi belajar sambil liburan
[Photo: Pexels]


(1). Aktif dalam Tridarma

Ada banyak hal yang dapat dilakukan selama dosen menjalani tugas belajar. Jika tidak menyalahi aturan, bisa banget dosen masih aktif dalam kegiatan tridarma. Dalam bidang pendidikan, meskipun tidak lagi mengajar mata kuliah dalam rentang tahun berjalan tubel, dosen bisa mempersiapkan buku ajar atau referensi. Lumayan banget begitu mulai aktif mengajar kembali sudah ada buku referensi yang dihasilkan.

Keuntungannya bukan hanya untuk pribadi, tapi untuk prodi karena memiliki dosen tetap yang semakin glow up setelah tubel. Hm, tanpa berada di tempat pun sudah menyumbang kontribusi yang gemilang, bukan?

Sebagai dosen, tuntutan menulis artikel ilmiah adalah kewajiban. Bukan berarti selama tubel, menulis malah menjadi pasif. Justru karena sedang berurusan dengan peningkatan kompetensi, saatnya menulis dengan level yang juga di-upgrade lebih luas.

Tridarma terakhir dalam bidang pelayanan kepada masyarakat. Apa yang salah dengan mengikuti pelayanan dalam pengabdian. Jika tidak bisa berjalan bersama tim, dosen bisa membuat ruang gerak sendiri. Selain untuk pengabdian kepada masyarakat, data yang didapat di lapangan bisa menjadi sumber data untuk memperkaya jurnal ilmiah yang nantinya ditulis.

(2). Strategi Pemenuhan Syarat

Untuk mencapai jenjang akademik tertentu, dosen juga dituntut berbagai syarat. Tubel bisa menjadi jembatan sebagai strategi pemenuhan syarat akademik tertentu. Siapkan syaratnya selama tubel, ini justru lebih mudah karena tidak terdistraksi dengan kegiatan lainnya. Misalnya saja dengan tek bengek administrasi, tugas struktural, atau mengajar disertai rapat ini dan itu.

(3). Mengikuti Perkembangan Kebijakan

Bukan rahasia jika di Indonesia kebijakan berubah-ubah sesuai dengan pemegang kebijakan. Selama tubel, dosen bisa lebih fokus mengikuti perkembangan kebijakan yang terus berubah. Siapa tahu dengan pengamatan yang lebih terfokus, kita bisa mempersiapkan diri untuk melompat atau melaju lebih cepat tanpa harus ikutan sakit kepala bersama teman lainnya.

Tidak Mengubur Ilmiah

Bukan rahasia jika dosen sedang tubel sedikit banyaknya auto kekurangan. Bagi dosen yang sudah berkeluarga dan anak di usia sekolah, kebutuhan semakin tinggi. Maka mencari uang tambahan dengan bekerja sampingan sudah seperti keharusan. Ada berbagai macam pekerjaan yang dilakukan dosen selama tubel untuk tetap mengepulkan dapurnya. Ada yang masih di jalur akademik sampai berbisnis.


Masalah finansial adalah masalah paling sering dihadapi oleh dosen yang lanjut studi.
[Photo: Pexels]

Dosen tubel tidak perlu menguburkan kegiatan ilmiah dengan tetap produktif menulis. Setidaknya menjadikan menulis sebagai kebiasaan yang bisa dilakukan disela-sela kesibukan sebagai mahasiswa yang sedang tubel. Sehingga kemampuan akademiknya tetap terasah semakin tajam selama tubel.

Kesimpulan

Jadi, pertanyaan tentang “mau ngapain saat tubel? Bosan, tahu!” akan saya jawab juga dengan sederhana. Insyaallah, tidak akan bosan. Melalui untingan halaman ini saya bisa tetap berinteraksi dengan pembaca dengan menulis berbagai hal yang ada dalam kepala. Saya bisa berbagi cerita tentang perjalanan, perjuangan, atau strategi menyelesaikan masalah yang dihadaoi oleh dosen yang sedang berhenti mengajar karena tubel.

Kalau cuma untuk perjalanan dinas yang hilang, memang ada baiknya kita melakukan perjalanan sendiri tanpa terikat dinas. Saya masih ingat perjalanan dinas bek pikee yang menyisakan diam karena beberapa hal. Justru dengan perjalanan yang dilakukan sendiri saya mendapatkan banyak hal untuk diri dan kontribusi untuk semua tujuan.

Selama menjalani tubel banyak hal yang bisa dilakukan termasuk untuk mengembangkan kekuatan pribadi. Belajar bahasa asing, belajar keahlian baru, dan tentu saja selalu berlumpul dengan keluarga dan mendampingi anak melewati tumbuh kembang.

Nah, menurut Teman Belajar, apa hal lain yang bisa dilakukan selama menjalani tubel?

Posting Komentar