Blogger Perempuan
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter
Ulfa Khairina | Find The Oliversity Through Your Chapter

Donasi ODOP Menghidupkan Harapan

Aceh Tengah terisolir, bantuan menumpuk di bandara Sultan Iskandar Muda, masyarakat bahu membahu untuk saling menghidupkan harapan. Pray for Aceh.

 Saya masih terus membagikan konten tentang bencana ekologis di Instagram ketika harapan saya pun sudah menipis. Saya baru bisa menghubungi orangtua di Takengon pada hari keenam bencana. Kami berbicara dengan jaringan putus-putus dan tangis tertahan. Kami sama-sama menjaga ritme suara dan tidak melakukan video call untuk saling menjaga emosi.

Adik saya mengabarkan, “kami dapat starlink di depan Bank Aceh Paya Ilang. Di sini ramai orang-orang yang sedang menghubungi keluarganya juga. Kami kehabisan bahan bakar, ada uang nggak ada barang.” Begitu adik saya berkata dengan suara lirih, biasanya dia orang paling semangat dengan guyonannya yang mengocok perut. Kali ini dia serius.


banjir sumatra
Kondisi pasca bencana
[Photo: Search by Google]

Saya kembali menanyakan kepada adik saya, “bagaimana makan kalian di sana, Dik?”

“Aman itu. Nggak usah ke pikirin. Untuk sementara ini masih ada stok beras kami. Kami cuma masak pakai kayu, orang tidak makan. Kami masih tidur di rumah dalam gelap, orang rumahnya pun tidak ada lagi.” Muhammad Yasir, adik saya, berkata dengan tenang. “Sebagian orang tenda pun nggak ada untuk tidur. Ngumpul di kantor desa tidurnya. Syukur kali kita masih makan di rumah sendiri, Kak.”

Kami terdiam cukup lama. Sama-sama diam. Kondisi kami sama-sama tidak ada listrik dan sinyal nyaris tidak ada. Kami berada di kabupaten berbeda dengan jarak tempuh delapan jam perjalanan darat melintasi kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Bireueun. Kini Pidie Jaya dan Bireueun luluh lantak dihantam banjir. Empat desa di Aceh Utara malah lenyap, rata tertimbun lumpur setinggi orang dewasa. Akses menuju Aceh Tengah putus. Aceh Tengah sukses terisolir setelah hujan empat hari empat malam.

“Kalau aku kirim beras dari sini, apa ada akses ke sana?” tanya saya. Air mata sudah tidak bisa tertahan, tapi suara saya masih dikondisikan.

“Ada keh helikoptermu, Kak? Itu cuma akses satu-satunya. Kalau ada, kukasih titik koordinatnya,” jawabnya dingin, datar, dan menohok. Saya langsung diam.

Saat itu saya cuma berdoa semoga menjadi orang kaya raya, mampu beli helikopter, dan bisa menggantikan peran pemerintah saat evakuasi orang-orang tercinta. Saya pikir semua orang di Aceh berpikir hal yang sama saat ini.

ODOP Open Donation

Kondisi listrik dan sinyal tidak memungkin saya untuk membuka ponsel berhari-hari. Bahkan saya tidak tahu informasi apapun termasuk ODOP Open Donation yang dilakukan oleh para member. Sampai saya menemukan banyak grup yang mention nama saya di grup. Saya hanya membuka, membalas seadanya, lalu off lagi.

Saya tidak tahu menahu ada berapa grup yang membuka donasi untuk disalurkan pada korban bencana di Aceh dan Sumatra. Saya baru ngeh ketika Kak Sakifah mengirim chat pada saya soal donasi itu. Dia menulis, “Kak, ini hasil donasi dari teman-teman ODOP sudah ditutup per hari ini. Secara nominal mungkin gak seberapa. Tapi sejak awal diniatkan untuk disalurkan sebagai tanda cinta teman-teman terutama ke sesama anggota. Apakah memungkinkan kami sampaikan ke kakak agar bisa dimanfaatkan di sana bersama orang-orang sekitar juga sedang berjuang untuk kembali bangkir?”

Saat itu saya menangis. Terbayang bagaimana bahagianya orang-orang yang menerima bantuan itu. Mungkin tidak bisa merata, tapi yang membutuhkan tentu sangat bahagia. Khususnya orang sekitar. Saya langsung mengirimkan pesan kepada adik saya, meminta bantuannya.


donasi
Ilustrasi donasi
[Photo: Pexels/Juliam Cameron]

Dia merespon, “Kak, aku malu menerimanya kalau itu untuk kita. Kita nggak apa-apa. Kita cuma kurang makan dan terancam. Sedangkan orang sudah nggak makan. Masih ada ketela liar yang bisa kita gali di kebun.”

Saya kehilangan kata-kata untuk beberapa menit. Sebelum akhirnya saya membalas lagi, “berikan pada yang membutuhkan di sekeliling kita. Ini amanah dan bentuk cinta dari teman-temanku di luar Aceh.”

Akhirnya dia menyetujui untuk membantu distribusi. Dia bertanya apakah donasinya akan dibarangkan dulu atau bentuk uang. Saya menyarankan untuk membeli barang karena lebih terlihat dan berdampak. Namun balasan yang saya dapatkan membuat saya sedikit kehilangan harapan.

“Di sini susah cari barang. Kalau ada harganya pun mahal, Kak.” Adik saya lantas bercerita tentang susahnya mencari beras, gas, bahkan satu ons ikan asin.

Data Prioritas Terdampak Bencana

Saya meminta adik untuk mengirimkan data prioritas terdampak bencana yang akan menerima bantuan. Saya juga bertanya kondisinya bagaimana. Agak sulit mencari orang-orang yang sangat membutuhkan di daerah kami tinggal. Jika dikatakan berdampak, semua berdampak. Istilah adik saya, imbas dari bencana.

Namun di antara kelompok orang-orang yang memiliki gaji tetap yang dibayarkan oleh pemerintah, petani yang anak-anaknya sudah sukses, tentu ada yang benar-benar membutuhkan. Terutama korban longsor dan banjir bandang yang sama sekali tidak tersentuh bantuan. Selama ini, daerah Paya Tumpi Baru di kawasan pertanian, dianggap cukup aman meski terancam kelaparan.

Adik saya lantas mengirim beberapa nama prioritas. Termasuk dengan kondisinya. Saya memilih beberapa beberapa orang. Sebagai alumni dari relawan Palang merah Indonesia saat kuliah dulu serta menjadi pembina Korp Suka Relawan PMI di kampus yang menaungi, hal seperti ini menjadi konsen kami.

Bersama dua pembina lain dan suami yang merupakan eks relawan tsunami Aceh 2004, saya bertanya bagaimana cara membangikan donasi di saat kami tidak bisa memasok barang ke lokasi bencana. Kami berpikir keras seperti para keluarga korban yang juga berpikir cara yang sama. Akhirnya kami memutuskan untuk memberi dalam bentuk uang dengan nominal setengah karung beras, seliter minyak makan, dan sepapan telur dengan harga di Banda Aceh.

Tiga Bahan Pokok Penyelamat Jiwa

Tiga bahan pokok penyelamat jiwa yang kami data sebagai donasi merupakan harga yang masih berlaku di Banda Aceh. Saya langsung mentransfer donasi dari ODOP pada tanggal 16 Desember 2025 begitu mendapatkan jaringan internet. Sementara Kak Sakifah sudah mentransfer pada saya pada tanggal 14 Desember 2025.

Ternyata untuk menarik uang tunai di ATM juga tidak semudah yang kami bayangkan. Yasir harus mengantri panjang dan ‘berebut uang’ dengan para pengantri lainnya. Tidak semua ATM ada uangnya. Aceh Tengah benar-benar krisis.


sembako
Ilustrasi beras
[Photo: Pexels]

Setelah mendapatkan uang, Yasir mengonfirmasi kepada saya. Saya langsung memintanya untuk mendistribusikan kepada nama-nama yang sudah ditetapkan. Saya merasa terharu saat dia menyanggupi untuk membantu, karena mencari relawan pun sekarang susahnya minta ampun.

Bukan soal empati yang sudah menghilang, tapi karena resiko dan intimdasi yang mereka dapatkan di lapangan. Ada yang bercerita, kondisi di lapangan tidak membuat mental kuat dan sehat. Relawan bukan sekedar membagikan, tapi juga bertanggungjawab atas hilangnya donasi di lapangan. Beberapa hari sebelumnya, 70 ton donasi hilang di Bener Meriah. Ini bukan saja pukulan bagi masyarakat tapi juga untuk relawan.

Utoh (Pekerja Bangunan) yang Kehilangan Pekerjaan

Seorang utoh (pekerja bangunan) bekerja di tepi Danau Laut Tawar. Dia membangun homestay bernilai milyaran rupiah untuk meningkatkan geliat ekonomi kreatif di Aceh Tengah. Homestay itu baru berdiri, belum seratus persen selesai, namanya pun belum diputuskan.

Saat bencana itu datang, dia baru saja membawa pulang istrinya dari rumah sakit pasca melahirkan anak kembar perempuan prematur. Kedua bayinya masih di inkubator, menerima asupan tambahan gizi dari rumah sakit untuk meningkat berat badan. Dokter menyarankan untuk dirawat selama dua bulan dengan kebutuhan biaya yang tidak sedikit.

Bencana bukan saja membuat pemilik homestay kehilangan harapan nyaris gila. Bagi utoh ini, dia kehilangan lapangan kerja dalam hitungan menit. Sementara tabungan tergerus habis untuk membiayai anak di rumah sakit.

Di tengah ketidakpastian hidup pasca bencana, si utoh masih membantu tetangga untuk membantu memperbaiki ini dan itu dengan bayaran terima kasih. Satu dua berbaik hati memberi selembar uang biru untuk tambahan beli susu anak. Dia menangis keras saat mendapatkan donasi di saat harapannya hampir pupus. Satu anak kembali pulang dengan berat badan minimal, tapi bayi satunya masih di rumah sakit dengan perkembangan yang tidak pasti.

Petani Tua dan Anak-anak yang Kehilangan Akses Ke Kebun

Sebagian besar petani di Aceh Tengah memilih bertani kopi untuk menyambung hidup. Begitupun dengan seorang janda berusia 61 tahun yang melanjutkan kebun kopi suaminya. Sehari-hari beliau memelihara kopi peninggalan suami yang meninggal dua belas tahun silam. Di antara batang-batang kopi, terselip pula tanaman muda untuk ketahanan pangan. Si nenek tidak pernah mengeluh hidup semakin sulit. Padahal harga kopi yang terus anjlok berulangkali memutuskan harapannya untuk hidup lebih baik.

Sejak bencana datang, sembako menggila, dan si nenek mulai menangis. Bukan uang tak ada yang dia keluhkan. Bukan juga ketidaktersediaan beras, tapi jalan akses ke kebunnya yang tertutup longsor tanah liat. Harta karun hidupnya tak bisa dijamah. Kelaparan mengancam, dia mulai berpikir bahwa hidup tidak berpihak lagi pada mereka.


Aceh Tengah
Aceh Tengah  dan danau laut tawar
[Photo: Rilis.id]

Si nenek mendapat bagian dari donasi. Dia menangis, tapi yang dia pikirkan adalah orang lain. Ada seorang anak kembar yang tersisa. Ibu, kakak, dan satu saudara kembarnya meninggal tertimbun longsor pada pukul enam pagi di hari pertama bencana. Rabu, 26 November 2025 dia bukan sekedar kehilangan rumah dan keluarga, tapi semangat untuk hidup.

Selain dua orang itu, masih ada beberapa orang berdampak yang menerima uluran tangan orang-orang baik. Di ujung harapan yang sudah mulai padam, nyala kehidupan mereka kembali memercik. Kini mereka yakin bahwa mata Indonesia tertuju pada mereka yang tersisolir. Jalan akan dibuka cepat atau lambat. Hidup mereka akan berlanjut.

Pesan dari Belantara Gayo

Mereka yang ada di sana, di antara harapan dan ketidakpastian menitipkan ucapan terima kasih kepada seluruh member Komunitas ODOP, “terima kasih, ODOP. Allah yang akan membalas semua ketulusan ini.”

Pesan dari belantara Gayo dari mereka yang menunggu di ujung harapan menembus langit. Semoga Aceh Tengah kembali pulih. Ekonomi kembali berputar. Doakan kami dari ujung Sumatera, di tengah hutan pinus dan langit yang semakin dekat dengan bumi.

2 komentar

  1. Semoga Kak Ulfa, keluarga dan warga Aceh plus Sumatera selalu ada dalam lindungan Allah dan semoga kondisi di sana pulih segera

    BalasHapus